REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarahwan, Bonnie Triyana mengatakan jika memang ingin memberikan pengetahuan tentang sejarah, harus dibuka semua tanpa ada yang disembunyikan. Jika menayangkan film G-30S/PKI, maka harus juga menayangkan film lainnya seperti, film Jagal dan Film Senyap.
"Saya tidak bilang boleh diputar atau tidak, tapi kalau mau buka-bukaan sejarah, bukalah semua. Jangan satu dibuka, satu diumpetin," ujar dia saat dihubungi Republika.co.id via telepon, Senin (18/9) siang.
Bagi Bonnie, di zaman yang sudah demokratis dengan berbagai kekurangannya, jika memang film itu ingin diputar lagi, Bonnie menegaskan bahwa film itu tidak mencerminkan keseluruhan kebenaran mengenai masalah PKI.
"Dalam film G-30S/PKI, hanya menceritakan peristiwa dari 30 September hingga 1 Oktober malam. Film itu tidak menceritakan apa yang terjadi setelah itu terhadap ratusan simpatisan PKI, yang juga mengalami pembunuhan. Jadi kalau mau film ini diputar, putar juga film itu," ujar Bonnie.
Pada intinya, film itu tidak sesuai dengan fakta sejarah dalam beberapa adegannya. Misalnya disebutkan, jenderal-jenderal itu disiksa, matanya dicungkil, pipinya disayat, bokongnya ditusuk, padahal dalam laporan forensik kedokteran UI, yang waktu itu ada beberapa orang yang melakukan forensik, tidak disebutkan ada penyiksaan.
"Jenderal itu mati karena tembakan. Tidak disiksa, tidak dipotong kemaluannya dan segala macam," jelas Bonnie.
Menurutnya, masyarakat Indonesia harus memahami, bahwa pada 1965 masyarakat membaca koran dan langsung percaya, tidak ada media yang verifikasi lagi. Kemudian film itu barulah dibuat pada 1980an, tepatnya 1986. Pada saat itu, masyarakat diwajibkan menonton bahkan setiap anak.
"Termasuk generasi saya diwajibkan nonton. Saya tidak dapat apa-apa kecuali ngeri saja, takut, dan menjadi phobia," papar dia.