REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada berbagai aktor dan faktor yang menyebabkan perpindahan manuskrip-manuskrip Islam ke tangan Barat. Sebagian manuskrip diperoleh lewat perampokan dan penjarahan pada masa kolonialisme. Yang lain, melalui proses transaksi jual-beli. Tapi, ada pula yang sengaja dihadiahkan oleh penguasa Muslim.
Stefanie Brinkmann dari Institute of Oriental Studies, University of Leipzig, mengatakan, banyak koleksi naskah Islam berasal dari kontak dengan Kekaisaran Ottoman pada abad ke-17 hingga abad ke-19. Manuskrip-manuskrip itu dibawa oleh tentara, pedagang, misionaris, administrator, penulis, dan pelancong.
Interaksi pertama Barat dengan manuskrip Islam terjadi pada masa kekhalifahan Abbasiyah. Pada masa itu, banyak sarjana Barat belajar di pusat-pusat intelektual Islam, seperti Kordoba, Sevilla, Granada, Salamanca, dan Toledo.
Sebagian aktif menerjemahkan kitab-kitab tersebut ke dalam bahasa Inggris atau Latin. Adelard of Bath, Gerrad van Cremona, dan Petrus Alfonsi adalah beberapa tokoh besar Eropa yang menerjemahkan karya Muslim. Inggris, misalnya, catat Roman, hubungan negara ini dengan Islam berkaitan dengan Muslim Spanyol dan Perang Salib. Michael Scot (1175-1235), astrolog Inggris dan ahli kimia terkemuka, serta Adelard of Bath, guru Raja Henry II. Keduanya menghabiskan sebagian waktu di universitas Islam untuk mempelajari sains dan filsafat.
Sepulang ke negara asal, para sarjana ini membawa harta karun berupa manuskrip atau terjemahan manuskrip Islam. Termasuk, Canon of Medicine karya Ibnu Sina. Pekerjaan penerjemahan ini terus berlangsung hingga abad ke-13 dan 14. Karena itu, tidak mengherankan bila banyak karya Muslim yang kini hanya ditemukan terjemahannya di perpustakaan Eropa.
Proses ini juga terkait dengan perpindahan ilmu pengetahuan dari dunia Islam ke Barat. Mehdi Nakosteen dalam History of Islamic Origins of Western Education A.D. 800-1350 : With an Introduction to Medieval Muslim Education mengungkapkan, transformasi ilmu pengetahuan Islam ke Barat dibangun melalui dua cara. Pertama, melalui para mahasiswa dan cendekiawan Eropa yang menimba ilmu di sekolah-sekolah tinggi atau universitas Islam di Spanyol. Kedua, melalui hasil karya cendekiawan Muslim yang diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa mereka.
Peradaban silih berganti. Ketika para sarjana Barat mulai menyadari kekuatan ilmu pengetahuan, kejayaan ilmu pengetahuan di dunia Islam melemah. Puncaknya, keruntuhan Baghdad pada 1258 M meninggalkan dampak besar dalam peradaban Islam. Baghdad adalah wajah peradaban Islam.
JJ Saunders dalam History of Medieval Islam mengatakan, Baghdad merupakan kiblat kehidupan intelektual bangsa Arab. Kota ini tak ubahnya rumah kuno kebudayaan (the ancient home of culture), titik pertemuan kebudayaan Yunani dan Persia. Keruntuhan Baghdad sontak membuat aktivitas keilmuan kaum Muslim lumpuh. Banyak buku yang dibakar dan dibuang ke Sungai Tigris. Setelah itu, kekuatan-kekuatan politik baru muncul di beberapa wilayah. Tapi, tradisi intelektual tak pernah sekuat Baghdad lagi. Sejak abad ke-12, Eropa juga sudah mulai memiliki universitas sendiri.
Kendati begitu, tradisi intelektual dan manuskrip Islam telah memberi sumbangan besar bagi keilmuan Barat modern. Abad ke-14, cikal bakal gerakan renaisans lahir di Florence, Italia. Profesor dari Columbia University, George Saliba, dalam Islamic Science and the Making of European Renaissance, mengungkapkan pengaruh ilmu pengetahuan Islam terhadap gerakan Renaisans. Saliba dalam buku ini melacak orisinalitas pengetahuan Islam lewat astronomi. Para ilmuwan Barat ditengarai pernah membaca karya-karya ilmuwan Muslim.
Kolonisasi Barat di negara-negara Muslim menjadi jalan perpindahan manuskrip-manuskrip tersebut. Dalam bukunya, Roman mencatat delapan dari 10 negara yang dia teliti pernah melakukan kolonisasi di negara Muslim.
Prancis memiliki bekas jajahan di Mesir, Turki, dan Afrika Utara. Belanda di Indonesia sedangkan Inggris di anak benua India dan Timur Tengah. Italia di Afrika Utara, Amerika di negara-negara Teluk, sedangkan Jerman di Turki. Spanyol, lain cerita. Kejayaan Andalusia di Spanyol meninggalkan warisan manuskrip yang tidak sedikit bagi negara Spanyol modern.
Inggris, salah satu negara kolonialis paling berpengaruh dan pemilik manuskrip Islam terbesar, memiliki jejaring dengan berbagai belahan dunia Muslim. Mulai dari Afrika Utara, Ottoman Turki, Mesir, Sudan, Persia, India, Malaya, bahkan Jawa dan Sumatra.
Hubungan yang berlangsung sejak abad ke-17 M ini membuat Inggris menguasai beribu-ribu manuskrip Islam dalam berbagai bahasa Arab. Koleksi itu tersimpan di London, Cambridge, Oxford, Birmingham, Midland, Leeds, Manchester, Glasgow, dan Edinburgh.