REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, pada Ahad (17/9), telah mendesak warga Kurdi di Irak agar membatalkan rencananya menggelar referendum kemerdekaan akhir bulan ini. Menurut Guterres, hal tersebut akan mengganggu pertempuran melawan ISIS.
Guterres mengatakan setiap perselisihan antara Pemerintah Irak dan Pemerintah Daerah Kurdistan harus diselesaikan melalui dialog dan kompromi yang konstruktif. Keputusan sepihak (warga Kurdi) untuk menggelar referendum saat ini akan mengurangi kebutuhan untuk mengalahkan milisi ISIS, katanya seperti dilaporkan laman Aljazirah, Senin (18/9).
Selain itu, Guterres menilai, referendum kemerdekaan warga Kurdi di Irak juga akan berdampak pada hal lainnya. Ini juga akan merusak upaya rekonstruksi dan kembalinya para pengungsi. Oleh sebab itu, ia menekankan Pemerintah Irak untuk menahan diri dan menyelesaikan masalah ini dengan cermat tanpa kekerasan. Guterres pun menyatakan bahwa PBB siap membantu Irak menangani seruan referendum Kurdi.
Pemimpin Kurdi Irak Massoud Barzani telah menyatakan akan menggelar referendum kemerdekaan guna memisahkan diri dari Irak. Referendum tersebut rencananya diselenggarakan pada 25 September mendatang.
Namun Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi telah menolak rencana referendum tersebut. Ia pun sesumbar akan melakukan intervensi militerbila referendum kemerdekaan Kurdi ternyata mengancaman keamanan sertakeselamatan warga Irak.
"Jika penduduk Irak terancam oleh penggunaan kekerasan diluar hukum (oleh Kurdi), maka kita akan campur tangan secara militer," ujar Abadi dalam sebuah sesi wawancara.
Isu referendum Kurdi Irak ini juga telah menyita perhatiansejumlah negara. PresidenTurki Recep Tayyip Erdogan telah berencana untuk bertemu dengan Haider al-Abadidi sela-sela pertemuan Majelis Umum PBB di New York, AS, untuk membahas isu ini.
Sekretaris Keamanan Nasional Iran Ali Shmkhani mengatakan negaranya pun menolak rencana referendum Kurdi di Irak. Ia mengungkapkan bahwaselama ini Iran telah menganggap Kurdi di Irak Utara sebagai saudara dan sekutu. Iran, lanjutnya, mendukung Kurdi selama mereka menghadapi masa-masa sulit.
Kendati demikian, Iran, ujar Shmkhani tak berkenan bila Kurdi Irak ingin melangsungkan referendum. Referendum ini akan menyebabkankeamanan Irak dan wilayah lainnya menjadi tidak kondusif, ujarnya.
AS, pada akhir pekan lalu, telah menyerukan agar PemerintahDaerah Kurdistan Irak menghentikan rencananya menggelar referendum. Juru bicara Gedung Putih Sarah Huckabee Sanders mengatakan alih-alih mengejar prosespemungutan suara, para petinggi Pemerintah Daerah Kurdistan seharusnya mulaimelakukan dialog yang serius dan berkelanjutan.
Suku Kurdi di Irak telah lama memiliki impian untuk menjadi negara. Hal ini ditegaskan pada masa pemerintahan mantan presiden Saddam Hussein, yang militernya, pada 1980-an, membunuh setidaknya 50 ribu warga suku Kurdi.
Pada 1992, Kurdi Irak membentuk pemerintahan daerah tak lamasetelah AS memberlakukan zona larangan terbang di utara seusai Perang Teluk.Setelah invasi pimpinan AS menggulingkan Saddam Hussein pada 2003, wilayah Kurdi tersebut mendapat pengakuan konstitusional atas otonomi, namun tetapmenjadi bagian dari negara Irak.