Film "Pengkhianatan G 30 S PKI" film propaganda? Jawabnya, kalau propaganda memang kenapa? Sebab, faktanya memang semua film adalah propaganda!
Pada kenayataannya genre film juga tak tunggal. Film itu banyak "genre"nya. Dan andai Arifin yang anak tukang sate di Cirebon itu memilih genre tersebut, itu pun absah saja. Apalagi lagi, semua sutradara itu bebas memilih visi dan ideloginya. Seni tak pernah melarang seniman punya pilihan. Sebab karya apapun adalah ekspresi.
Saya sebut "andai Arifin", karena film "Pengkhianatan G 30 S PKI" bukan film propaganda. Arifin mempropagandakan apa? Dia seniman bebas. Setahu saya, Arifin bukan kelompok Manikebu yang bertarung dengan Lekra, macam Goenawan M dan Wiratmo Sukito. Arifin di masa 'pertarungan' 1965 saat itu hanyalah anggota kelompok Teater Muslim di Yogyakarta yang dipimpin sastrawan Mohammad Diponegoro.
Kala itu, Arifin dan Mohammad Diponegoro memang terlibat dalam pertarungan gagasan dengan kelompok seniman Komunis yang berhimpun di dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang menjadi organisasi sayapnya PKI. Bila Lekra di sekitar Jogjakarta (wilayah kawasan kaki gunung Merapi, dan Merbabu) sibuk mementaskan teater tradisional 'Ketoprak' dengan lakon mengolok-olok ajaran agama seperti 'Patine Gusti Allah' dan 'Gusti Allah Mantu', maka Arifin bersama teater Muslimnya melakukan antitesis dengan menampilkan teater atau drama moderen dengan naskah bernuansa Islam seperti berjudul 'Iblis'. Isi cerita naskah ini bertema tentang pengorbanan Nabi Ibrahim.
Dari jejak karyanya, Arifin adalah seniman yg menyuarakan nilai-nilai ideal, yang diolah dari realitas sosial. Selepas dari Teater Muslim dan pindah ke Jakarta, Arifin kemudian mendirikan Teater Ketjil. Di sini dia menulis banyak naskah teater yang menjadi legenda: Umang-umang dan serial Orkes Madun. Dalam naskah ini Arfin dengan sangat baik mengabungkan ide pertunjukan teater rakyat yang bersifat komunal dengan teater moderen yang cenderung individual.
Lalu seperti apa sosok Arifin C Noer di mata 'anak asuhnya' di Teater Ketjil? Pada soal ini ada satu jawaban dari sesepuh Teater Koma, Ratna Riantiarno.''Arifin adalah guru yang baik. Berkomitmen tinggi dan sangat disiplin. Kalau bekerja dengan dia dintuntut harus tola1,'' kata Ratna.