REPUBLIKA.CO.ID, GENEVA - Data terbaru PBB menunjukkan, saat ini sekitar 421 ribu Muslim Rohingya telah menyeberang dari Myanmar ke Bangladesh sejak 25 Agustus. Lebih dari 170 ribu pengungsi Rohingya yang baru tiba di Bangladesh belum menerima layanan kesehatan.
"Banyak pendatang baru, yang berjalan berhari-hari melewati hutan dalam hujan dan panas. Mereka dalam keadaan sakit dan kekurangan gizi saat mencapai pemukiman Cox's Bazar, Bangladesh," ujar Joel Millman, juru bicara Badan Internasional untuk Migrasi (IOM) PBB dalam sebuah konferensi pers di Jenewa, Selasa (19/9), dikutip Anadolu.
Para pengungsi tersebut melarikan diri dari pasukan keamanan Myanmar dan warga Buddha yang melakukan pembantaian dan membakar desa Rohingya. Menurut pemerintah Bangladesh, sekitar 3.000 warga Rohingya tewas dalam kekerasan tersebut itu.
"Pemerintah Bangladesh telah memulai pendaftaran biometrik pendatang baru. Mereka mendaftarkan sekitar 1.000 orang dalam sehari hanya di Kutupalong, Ukhia," ujar juru bicara UNHCR, Duniya Aslam Khan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga meluncurkan program imunisasi mendesak pada Sabtu (16/9) lalu untuk memvaksinasi 150 ribu anak-anak yang baru tiba. Juru bicara UNHCR lainnya, Marixie Mercado, mengatakan bahwa 250 ribu anak telah meninggalkan Myanmar ke Bangladesh.
"Kami belajar lebih banyak tentang risiko nyata yang dihadapi anak-anak. Dalam beberapa hari ini, lebih dari 23 ribu anak di bawah lima tahun dirawat karena kekurangan gizi di sejumlah lokasi yang berbeda," kata Mercado.
"Sekitar 13 persen dilaporkan mengalami kekurangan gizi akut. Perkiraan ini sangat awal, karena jumlahnya kecil, dan akan berubah saat kami menjangkau lebih banyak anak," tambahnya.
Turki telah berada di garis terdepan dalam memberikan bantuan kepada pengungsi Rohingya. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan dia akan mengangkat masalah ini di Majelis Umum PBB yang sedang berlangsung saat ini.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson menyambut baik komitmen pemerintah Myanmar untuk mengakhiri kekerasan di Negara Bagian Rakhine. Dalam sebuah pembicaraan dengan pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi, Tillerson juga memuji Myanmar yang mengizinkan orang-orang yang kehilangan tempat tinggal akibat kekerasan tersebut untuk kembali ke rumah mereka.
"Dia juga mendesak pemerintah dan militer Myanmar untuk memfasilitasi bantuan kemanusiaan bagi orang-orang yang kehilangan tempat tinggal di daerah-daerah yang terkena dampak, dan menanggapi tuduhan pelanggaran hak asasi manusia," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri AS, Heather Nauert.