Rabu 20 Sep 2017 17:16 WIB

Soal Film G30S/PKI, Ketum PPP: Jangan Timbulkan Gejolak

 Ketua Umum PPP M Romahurmuziy
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Ketua Umum PPP M Romahurmuziy

REPUBLIKA.CO.ID, SAMARINDA -- Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (DPP PPP) memilih bersikap netral terkait rencana pemutaran kembali film Pengkhianatan G30S/PKI yang memunculkan pro dan kontra di masyarakat. Ketua Umum DPP PPP Muhammad Romahurmuziy menyatakan, sangat menghormati keinginan sejumlah pihak yang akan memutar kembali film tersebut. Namun, pihaknya juga tidak menolak terhadap munculnya pandangan berbeda dari pihak lain terkait materi sejarah yang ada dalam film G30S/PKI itu.

"Bagi mereka yang ingin menghidupkan kembali film tersebut, ya tidak usah dilarang. Demikian juga bagi pihak yang keberatan film itu diputar lagi, jangan sampai timbul gejolak perlawanan hingga berakibat memecah persatuan dan kesatuan bangsa," kata Romahurmuzy usai membuka Rapat Kerja Wilayah PPP di Samarinda, Kaltim, Rabu (20/9).

Pria yang akran disapa Romy itu menegaskan, fakta sejarah telah menyebutkan adanya peristiwa pengkianatan yang dilakukan Partai Komunis Indonesia pada 1965. Namun demikian, ia tidak menolak apabila ternyata ada fakta baru terkait sejarah masa lalu yang bisa diadopsi dan dijadikan pembaruan, sehingga menjadi materi sejarah yang sempurna dan lebih bisa diterima generasi berikutnya.

"Sekarang ini rezim komunis internasional sudah mengalami kebangkrutan dan ada yang mengalami transformasi. Satu-satunya rezim komunis yang masih eksis hanya terjadi di Tiongkok dan saat ini pun sudah mulai bertransformasi ke kapitalisme," ujar Romy.

Pada kesempatan itu, Romy juga menyatakan tidak sependapat dengan tuntutan sebagian masyarakat terkait pembubaran Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), karena dugaaan menggelar seminar PKI. Menurutnya, perlu ada pembuktian secara hukum bahwa YLBHI telah melakukan pelanggaran yang krusial terkait undang-undang dan ideologi negara.

"Sekarang ini masih sumir, perlu ditelusuri sesuai data dan fakta yang terjadi. Kalau saya pribadi tidak sependapat apabila alasan pembubaran karena yang bersangkutan menggelar seminar," tegasnya. Romy menambahkan kebebasan orang berpendapat, berkumpul dan berserikat juga dilindungi oleh undang-undang, sehingga sebaiknya perlu kajian lebih dalam dan lebih bijaksana sebelum mengambil keputusan agar tidak ada pihak yang dirugikan atas kejadian tersebut.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement