REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Jelang pilkada yang akan digelar, masing-masing calon kepala daerah sudah gencar mengampanyekan diri. Berbagai pencitraan diri, verbal dan nonverbal, disorakkan ke seantero negeri. Apa lagi tujuannya kalau bukan untuk dikenal sebagai orang baik dan punya elektabilitas sebagai pemimpin? Lantas, bolehkah pencitraan sedemikian dalam perspektif syariat Islam?
Pencitraan sebenarnya tak pernah ada dalam tradisi kepemimpinan Islam. Jangankan melakukan pencitraan diri, mengajukan diri sebagai pemimpin saja merupakan hal tabu dalam adab Islami. Nabi SAW kerap menegur para sahabatnya yang berambisi dengan kekuasaan.
Pesan Nabi SAW kepada Abdurrahman Ibnu Samurah RA, "Janganlah engkau meminta jabatan. Sebab, jika engkau diberi kekuasaan tanpa memintanya, engkau akan ditolong untuk melaksanakannya. Tetapi, jika engkau diberi kekuasaan dengan sebab adanya permintaan daripadamu, maka engkau akan dipalingkan dari pertolongan Allah." (HR Bukhari Muslim).
Berbeda halnya dengan alam demokrasi dan model pilkada langsung yang ada saat ini. Calon kepala daerah dituntut aktif bersosialisasi dan memperkenalkan diri kepada masyarakat.
Ketika pasangan calon harus berkampanye pada masyarakat untuk memilih dirinya, agaknya idealisme yang terkandung dalam hadis ini serasa sulit diterapkan. Kendati demikian, mereka yang turun berkampanye harus memperhatikan adab-adab Islami agar tak jatuh pada perkara yang diharamkan.
Hal yang harus dijaga bukanlah tradisi orang beriman untuk menyebut-nyebut kebaikannya. Firman Allah SWT, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya (di hadapan) manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian." (QS al-Baqarah [2]: 264).
Ayat ini menegaskan, menyebut-nyebut kebaikan bisa menghilangkan pahala dari amal kebaikan tersebut. Yang demikian jika bertujuan untuk riya di hadapan manusia atau mengharapkan suatu imbalan tertentu. Orang yang riya ini juga diistilahkan tidak beriman pada hari akhir. Karena, kebaikan mereka hanya sebatas ingin dilihat dan dibalas di dunia.