Sabtu 23 Sep 2017 18:32 WIB

Anggota Komisi III: Kalau KPK OTT Kecil-Kecil, Nombok Negara

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Teguh Firmansyah
Anggota Komisi III DPR dari fraksi PPP, Asrul Sani.
Foto: Antara/Resno Esnir
Anggota Komisi III DPR dari fraksi PPP, Asrul Sani.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Panitia Khusus Angket DPR soal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Arsul Sani mengkritisi operasi tangkap tangan (OTT) KPK yang nilai kasusnya tergolong kecil dan tidak memiliki dampak yang masif. Menurut Arsul, jangan sampai OTT tersebut menjadi andalan kinerja KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia.

"Kalau hanya OTT kecil-kecil itu sebagai andalan kinerja KPK kalau secara akuntasi berarti nombok negara ini. Saya kira itu harus kita dorong KPK juga menyelesaikan kasus besar, ayo dong kerjakan dan tunjukan ke publik dan sampaikan ke DPR kalau yang besar bisa dikerjakan juga," ujar Arsul saat ditemui di kawasan Menteng, Jakarta pada Sabtu (23/9).

Sebab menurut Arsul, anggaran negara yang dikucurkan negara untuk KPK per kasus jumlahnya sangat besar dibandingkan lembaga penegak hukum lain seperti kejaksaan. Menurutnya untuk anggaran di 2018, anggaran untuk satu kasus di KPK sekitar Rp 400 juta lebih, berbeda dengan kejaksaan sekitar Rp100 jutaan.

Karenanya, perlunya prioritas KPK mengerjakan perkara-perkara yang memang terstruktur, sistematis dan masif.

"Silahkan OTT dijalankan tetapi kasus-kasus korupsi yang kalau saya boleh pinjam istilah TSM, terstruktur, sistematis dan masif itu juga harus digarap. Misalnya kelanjutan Bailout Century, Sumber Waras, jangan kemudian kalau ditanya itu klasik," ungkap Anggota Komisi III DPR tersebut.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Lankun justru menilai tidak ada yang salah dalam OTT yang dilakukan KPK selama ini. Menurutnya, dalam tindak pidana korupsi suap memang yang bukan nilai yang menjadi titik berat utamanya.

"Dalam tipikor suap itu terbagi menjadi beberapa, tapi dalam konteks suap itu yang pertama dilihat aktornya, nah untuk nilai itu berikutnya. Itu yang dicecar berikutnya. Kalau receh itu nggak dikenal istilahnya. Kalau suap. Pelakunya siapa dalam suap," ujar Tama.

Hal sama diungkapkan Pakar Hukum Abdul Fickar Hadjar yang menilai bahwa pemberantasan korupsi  bukan dilihat dari besar kecilnya perbuatan, namun adalah perbuatan korupsi tersebut. "Saya ingin sampaikan kepada masyarakat, itu bukan besar kecilnya apa yang didapat oleh KPK tapi perbuatannya. OTT adalah indikator ketidakpercayaan dan sekaligus juga kepercayaan," ujarnya.

Namun ia menyarankan kepada KPK agar dalam proses penegakan hukum atas korupsi-korupsi daerah menjalankan fungsi koordinasi dan supervisi dengan penegak hukum kepolisian di wilayah setempat. "Saya sarankan korupsi orang daerah dilanjutkan ke penegak hukum di daerah supaya kepercayaan ke penegak hukum di daerah juga terbangun," ujar Fickar.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement