REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- "Muslim Slovenia memiliki keinginan kuat untuk menjadi bagian aktif dari masyarakat, tapi kami masih sangat sering diangap orang asing," tutur Faila Pasic Bisic, seorang Muslim Slovenia.
Wilayah perbatasan antara dua kekuasaan, di manapun, memang sering menyimpan memori kelam. Telah dikemukakan, memori kolektif Slovenia mewariskan trauma sejarah akibat serbuan Ottoman.
Stereotipe klasik yang berkembang menganggap Islam sebagai agama 'yang lain' dan berbahaya. Tambahan lagi, pembersihan etnis Muslim Bosnia pada awal dekade 1990-an melekat kuat di benak rakyat Slovenia. Hantu sejarah ini turut membentuk cara pandang mereka.
"Intoleransi muncul lantaran memori kolektif rakyat Slovenia atas serangan Turki pada abad ke-15 dan 16. Banyak puisi dan novel yang diajarkan di sekolah dasar mengingat kenangan itu. Ini bukan berarti kurikulum Slovenia melakukan dengan sengaja, tapi itu bagian dari sejarah kami," kata Dr Anja Zalta, seorang profesor sosiologi dan agama di Universitas Ljubljana.
Dengan adanya stereotipe itu, perjuangan komunitas Muslim tidak mudah. Kaum Muslim bebas melaksanakan ritual keagamaan di ruang-ruang doa, tapi mereka tidak memiliki satu pun masjid. Permintaan untuk keberadaan sebuah masjid pertama kali datang pada 1969. Namun, hal ini justru berkembang menjadi isu politik yang mendorong debat publik dalam skala luas.
Komunitas Muslim di negara yang memproklamasikan kemerdekaan pada 1991 ini butuh 44 tahun untuk meyakinkan pemerintah akan pentingnya sebuah masjid. Padahal, Sreco Dragos lewat artikel "Kam vodi zakon o verski svobodi" dalam Porocilo skupine za spremljanje nestrpnosti st (2006), menghitung paling tidak harus ada 125 masjid di Slovenia untuk memberikan rasio sebanding setelah membandingkan dengan jumlah gereja Katolik.
Awal 2000-an, masyarakat Slovenia masih menaruh perlawanan terhadap proses penyebaran Islam. Oposisi pembangunan masjid pertama di negara itu meluas. Tahun 2004, anggota dewan kota Michael Jorc mengumpulkan lebih dari 11 ribu tanda tangan untuk menentang masjid. Ia berargumen, "Pada abad pertengahan, nenek moyang kami diserang oleh tentara Muslim. Mereka melakukan hal-hal buruk di sini."
Angin segar menyapa seiring perkembangan politik pascapemilu 2011. Mantan pengusaha Zoran Jankovic, seorang ateis yang naik menjadi wali kota, untuk kali pertama memastikan Muslim Slovenia akan memiliki masjid. September 2013, Perdana Menteri Slovenia Alenka Bratusek meletakkan batu pertama pembangunan masjid. Meski, umat Islam masih harus sabar untuk menunaikan hari raya dan pemakaian jilbab.