REPUBLIKA.CO.ID, KEDIRI — Lembaga kajian ekologi dan konservasi lahan basah, Ecoton, mengungkapkan jembatan menjadi tempat yang favorit untuk membuang sampah berupa popok, baik pokok bayi ataupun orang dewasa, yang bisa memicu air sungai terkontaminasi.
"Jembatan menjadi tempat favorit membuang popok. Kami sudah melakukan evaluasi, bahwa jenis popok didominasi popok bayi hingga 90 persen dan sisanya popok orang dewasa serta pembalut wanita," kata Direktur Eksekutif Ecoton Prigi Arisandi di Kediri, Jawa Timur, Senin (26/9).
Ia sengaja melakukan pemantauan sungai di wilayah Kediri. Dan, ternyata banyak ditemukan sampah di jembatan. Sampah itu didominasi, 60 persen plastik, dan 35 persen popok bayi, dan sisanya sampah organik seperti daun, bangkai dan dahan ranting.
Menurut pemantauan yang dilakukan, ditemukan banyak sampah di samping Taman Makam Pahlawan Kota Kediri, jembatan dekat MAN III Kediri, serta jembatan Sungai Brantas di dekat alun-alun Kota Kediri. Sampah-sampah itu berserakan begitu saja di dalam sungai.
Sampah popok itu, kata dia, ada yang dibuang dalam bentuk satuan ataupun dengan dibungkus tas plastik. Banyak dari sampah itu tersangkut di antara pipa jembatan ataupun berserakan di sungai.
Bahkan, jumlahnya juga sangat banyak, sehingga menyebabkan air tidak dapat mengalir dengan lancar. Ia prihatin dengan kondisi itu, padahal di lokasi tersebut juga sudah dipasang papan larangan membuang sampah di sungai. Bahkan, informasi sanksi juga dipasang, tapi ternyata masih banyak ditemukan sampah di sepanjang sungai.
"Kami ke jembatan di Kelurahan Tosaren, terdapat sampah popok bayi di bawah jembatan dibungkus dengan plastik, bahkan kami temukan pembuangan dalam jumlah besar. Padahal di tempat itu sudah ada papan larangan dari pemerintah kota, dan tetap menjadi tempat pembuangan popok sekali pakai. Kami temukan ada 15 bungkus plastik yang berisi popok di bawah jembatan," katanya.
Pihaknya meminta agar pemerintah menyediakan "drop box" serta sarana "Sanitary landfill" untuk menangani sampah popok tersebut. Hal itu disebabkan, sampah popok merupakan salah satu residu sampah yang tidak bisa didaur ulang.
"Dalam UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, popok adalah residu sampah yang tidak bisa didaur ulang dan harus dibuang ke TPA (Tempat pembuangan akhir). Dinas terkait perlu infrastruktur khusus untuk menangani sampah popok dengan menyediakan 'Drop box' dan sarana 'Sanitary landfill' untuk menangani sampah popok," katanya.
Lebih lanjut, ia juga meminta agar pemerintah lebih menggalakkan lagi operasi tangkap tangan (OTT) pembuang sampah popok. Hal itu sebagai upaya meminimalkan sampah yang dibuang ke sungai. Popok yang dibuang itu bisa berdampak buruk pada sanitasi bahkan bisa terkontaminasi air bersih.
"Kami juga mendesak dinas kesehatan untuk mengedukasi bahaya pemakaian popok sekali pakai terhadap kesehatan bayi, dampak buruk sanitasi dan kontaminasi air bersih. Kandungan plstik dan senyawa kimia dalam popok bayi selain mengganggu hormon ikan juga berdampak karsinogen pada PDAM yang menggunakan air sungai Brantas sebagai bahan baku air minum," ujarnya.
Ia berharap pemerintah juga giat melatih kader posyandu serta bidan sebagai ujung tombak untuk mempromosikan pemakaian popok kain pada bayi dan bukan popok sekali pakai. Selain aman, juga lebih ekonomis, karena bisa digunakan berkali-kali.