Selasa 26 Sep 2017 21:01 WIB

Kejaksaan Agung: UU Penodaan Agama tak Batasi Kebebasan

Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat (kiri) mendengarkan keterangan dari Koordinator Pada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Mia Amiyati (kanan) saat sidang uji materi Undang-undang Penodaan Agama di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (26/9). Sidang tersebut beragendakan mendengar keterangan presiden dan DPR tentang kewenangan pemerintah dalam menetapkan aliran kepercayaan terlarang.
Foto: ANTARA/Rivan Awal Lingga
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat (kiri) mendengarkan keterangan dari Koordinator Pada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Mia Amiyati (kanan) saat sidang uji materi Undang-undang Penodaan Agama di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (26/9). Sidang tersebut beragendakan mendengar keterangan presiden dan DPR tentang kewenangan pemerintah dalam menetapkan aliran kepercayaan terlarang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Koordinator Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung, Mia Amiati, menegaskan UU Penodaan Agama tidak membatasi kebebasan beragama warga negara. 

"Undang-Undang Penodaan Agama tidak melarang seseorang untuk melakukan penafsiran terhadap suatu ajaran agama ataupun melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai suatu agama yang dianut di Indonesia secara sendiri-sendiri," ujar Mia ketika memberikan keterangan di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Selasa (26/9). 

Mia memberikan keterangan selaku perwakilan Pemerintah dalam sidang uji materi ketentuan Pasal Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU Penodaan Agama, yang diajukan beberapa warga negara Indonesia yang aktif dalam komunitas Ahmadiyah. "Yang dilarang adalah dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia," kata  Mia.

Mia menambahkan setiap orang memiliki kebebasan berpikir untuk menafsirkan satu ajaran atau aturan tertentu. Walaupun penafsiran keyakinan atas ajaran agama merupakan bagian dari kebebasan, namun penafsiran tersebut harus sesuai dengan pokok-pokok ajaran agama dan melalui metodologi yang benar berdasarkan sumber ajaran agama yang bersangkutan, yaitu kitab suci masing-masing.

"Sehingga kebebasan melakukan penafsiran terhadap suatu agama tidak bersifat mutlak atau absolut," tegas Mia.

Mia menambahkan tafsir yang tidak berdasarkan pada metodologi umum para penganut agama serta tidak berdasarkan sumber kitab suci, akan menimbulkan reaksi yang mengancam keamanan dan ketertiban umum apabila dilaksanakan di muka umum. Mia kemudian mengatakan negara tidak dapat menentukan tafsir yang benar mengenai ajaran agama. 

Sebab itu, yang menentukan pokok -pokok ajaran agama adalah pihak internal agama masing-masing. "Jadi dalam hal ini, negara tidak secara otonom menentukan pokok-pokok ajaran agama dari suatu agama, tetapi hanya berdasarkan kesepakatan dari pihak internal agama yang bersangkutan," kata Mia. 

Dia menambahkan dengan demikian tidak ada etatisme dalam menentukan pokok-pokok ajaran agama pada Undang-Undang Penodaan Agama. 

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement