REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA — Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengingatkan referendum kemerdekaan Kurdi dapat memicu perang etnis di wilayah tersebut. Dalam pidatonya di istana kepresidenan di Ankara pada Selasa (26/9), Erdogan kembali mengatakan, semua opsi, termasuk opsi militer, dapat dilakukan untuk melindungi keamanan Turki.
Dia juga mengatakan akan memotong pipa ekspor minyak Pemerintah Daerah Kurdi (KRG) yang menyeberangi perbatasan Turki. "Sampai saat terakhir, kami berharap Barzani tidak akan melakukan kesalahan dengan mengadakan referendum. Rupanya kami salah. Keputusan referendum, yang telah diambil tanpa konsultasi ini, adalah pengkhianatan," kata Erdogan, merujuk pada Presiden KRG, Masoud Barzani.
Ia menambahkan, suku Kurdi Irak akan kelaparan jika Turki memutuskan untuk menutup perbatasannya dengan Irak utara. Menurut Erdogan, opsi ekonomi telah menjadi pilihan kedua bagi Ankara.
Masyarakat KRG yang berjumlah 8,4 juta jiwa, pada Senin (25/9), memilih apakah mereka akan berpisah dengan Baghdad, dalam sebuah referendum. Sebanyak 72 persen dilaporkan telah memberikan suara 'ya' untuk kemerdekaan Kurdi.
Sebelumnya televisi setempat mengatakan jumlah suara 'ya' mencapai 90 persen. Namun hasil perhitungan pasti baru akan diumumkan paling lambat Rabu (27/9) mendatang.
Dilansir dari The Independent, suku Kurdi, yang jumlahnya sekitar 30 juta jiwa di beberapa negara, telah ditinggalkan tanpa kewarganegaraan saat Kekaisaran Ottoman runtuh satu abad yang lalu. Negara tetangga Irak, seperti Turki dan Iran, juga memiliki populasi Kurdi yang signifikan.
Ankara dan Teheran khawatir pembentukan negara Kurdi Irak yang merdeka dapat memicu keinginan suku Kurdi di negara mereka masing-masing untuk juga mendapatkan kemerdekaan. Meskipun telah disambut antusias oleh diaspora Kurdi di seluruh dunia, Baghdad dan penduduk Arab Irak telah menyatakan keprihatinan mereka akan adanya referendum di wilayah Kirkuk, provinsi yang kaya akan minyak.
Kerusuhan yang meningkat beberapa hari terakhir telah menimbulkan kekhawatiran, hasil referendum "ya" dapat menyebabkan betrok antara warga Arab dan Kurdi. AS juga berulang kali berusaha meyakinkan KRG untuk menunda referendum. AS khawatir perselisihan lebih lanjut antara Irbil dan Baghdad dapat menggagalkan upaya perlawanan terhadap ISIS dan upaya perdamaian yang rapuh di Irak.