Rabu 27 Sep 2017 04:09 WIB

Kisah Muslim Pertama dari Tanah Byzantium

Rep: Ratna Ajeng Tedjomukti/ Red: Agung Sasongko
konstantinopel
Foto: gatesofiana
konstantinopel

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Sekitar 20 tahun sebelum Muhammad bin Abdullah mendapatkan wahyu, seorang Arab bernama Siban bin Malik memerintah Kota al Buallah atas nama Kaisar Persia Khosrow II. Kota ini sekarang menjadi bagian dari Basrah, terletak di tepi sungai Eufrat.

Sinan tinggal di sebuah istana mewah di tepian sungai. Dia memiliki beberapa anak. Yang paling disayanginya berusia lima tahun, namanya Suhaib Anak berambut pirang itu dikenal aktif, sehingga selalu menyenangkan ayahnya.

Pada suatu hari sang ibu membawa Suhaib dan anggota keluarga lain nya bertamasya mengunjungi sebuah desa. Perjalanan yang seharusnya penuh keceriaan itu berubah menjadi kengerian yang dikenang sepanjang hidup. Perjalanan itu juga memengaruhi kehidupan Suhaib.

Ketika itu, desa yang menjadi tujuan mereka bertamasya diserang tentara Byzantium. Para pasukan merampok desa tersebut. Para penjaga yang menyertai pesta piknik itu tak mampu melawannya dan terbunuh. Barang-barang disita. Mereka yang hidup dipenjara, termasuk Suhaib bin Sinan.

Suhaib dibawa ke salah satu pasar budak di Konstantinopel untuk dijual. Setelah itu, ia berpindah dari tangan majikan ke yang lain. Nasibnya tidak ber beda dengan ribuan budak lainnya yang memenuhi rumah dan istana penguasa dan 'kaum darah biru' Byzantium.

Suhaib menghabiskan masa kecil dan mudanya sebagai budak. Selama sekitar 20 tahun dia tinggal di tanah Byzantium. Ini memberinya kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan dan pemahaman langka tentang negeri tersebut yang kelak ditaklukkan Muhammad al-Fatih dari Turki.

Dari istana, dia melihat sendiri adanya ketidakadilan dan korupsi. Dia membenci budaya keji tersebut. "Masyarakat seperti ini hanya bisa dimurnikan dengan banjir besar," kata dia.

Suhaib menguasai bahasa Yunani, bahasa resmi di sana. Dia praktis melupakan bahasa Arab. Tapi, dia tidak pernah lupa bahwa dia adalah anak gurun. Dia merindukan hari ketika bebas bersama dengan masyarakat di daerahnya berlari-lari, menunggangi kuda dan unta sejauh mungkin.

Suhaib mencari kesempatan untuk meloloskan diri dari perbudakan dan langsung menuju Makkah yang merupakan tempat berlindung untuk mencari suaka. Ketika berhasil mencapai Makkah, dia diberi julukan ar-Rumi, orang Romawi.

Masyarakat Makkah mengenal Suhaib dari logatnya dan penampilannya yang berambut pirang. Dia aktif membantu pejabat Makkah ketika itu, Abdullah bin Judan. Banyak aktivitas perdagangan yang tidak lepas dari keterlibatan Suhaib.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement