REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menurut Global Competitiveness Report, terdapat empat negara penting dengan indeks daya saing tertinggi. Berikut empat negara yang memiliki indeks daya saing tinggi seperti dikutip dari Gulf News, Rabu (27/9).
Swiss terus menduduki peringkat teratas, dengan hasil yang kuat di berbagai komponen daya saing. World Economic Forum (WEF) menyatakan negara Swiss, yang ekonominya berada di puncak daftar karena paling kompetitif di seluruh dunia, mendapat keuntungan dari fundamental ekonomi sangat kuat.
Fundamental ini mencakup kesehatan masyarakat yang kuat, pendidikan dasar, dan lingkungan makroekonomi yang relatif padat. Laporan tersebut menggambarkan bahwa ekonomi Swiss memiliki tingkat fleksibilitas yang tinggi, dengan pasar tenaga kerja digolongkan sebagai yang paling berfungsi secara global.
Kapasitas penyerapan untuk teknologi baru juga tinggi, dengan peringkat kedua secara keseluruhan dalam kesiapan teknologi warga dan bisnis.
Amerika Serikat berada di peringkat kedua dalam hal daya saing global, menunjukkan peningkatan skor yang konstan sejak 2010.
Meskipun peringkat yang kuat, World Economic Forum (WEF) mengatakan AS berada di peringkat 25 dalam persyaratan dasar. Dibandingkan dengan negara-negara dengan peringkat teratas lainnya, misalnya, AS berkinerja buruk dalam kesehatan dan pendidikan dasar, sehingga masuk ke posisi 29.
Namun, laporan tersebut mengatakan AS dan Kanada menghadapi tantangan penting termasuk mengamankan arus bebas barang, orang, modal, dan layanan dalam Perjanjian Perdagangan Bebas (Free Trade Agreement) Amerika Utara dengan Meksiko; serta berinvestasi pada sumber daya manusia, kesehatan, dan pendidikan.
Sementata Inggris turun satu poin dalam hal daya saingnya, berada di urutan kedelapan sebagai negara yang paling kompetitif pada 2017. Laporan tersebut mengatakan penurunan tersebut belum mencerminkan hasil perundingan Brexit, yang kemungkinan akan mengurangi daya saing negara tersebut.
Analis di WEF mengatakan Inggris saat ini tampil sangat baik dalam hal kesiapan teknologi dan menduduki peringkat di tempat keempat secara global. Namun, lingkungan makroekonominya tetap menantang, dan bisa menjadi kendala penting di masa depan karena garis waktu untuk pengurangan defisit fiskal berulang kali didorong mundur.
Qatar tetap menjadi ekonomi kedua yang paling kompetitif di kawasan Arab setelah UEA, namun daya saing ekonominya meluncur ke posisi 25 dari posisi ke-18 pada 2016.
Laporan Global Competitiveness Report mengatakan penurunan tersebut terutama disebabkan oleh penurunan harga minyak dan gas, yang memiliki efek signifikan pada situasi fiskal negara tersebut. Qatar bergerak dari surplus fiskal sebesar 10,3 persen pada tahun 2015 menjadi defisit 4,1 persen dari produk domestik bruto pada 2016.
Ke depan, Qatar harus memastikan akses yang lebih baik terhadap teknologi untuk individu dan bisnis, dan kekuatan lebih lanjut untuk institusi pendidikan.