REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Pemimpin Pemerintah Daerah Kurdistan di Irak Masoud Barzani mengatakan, hasil referendum telah memperlihatkan, 90 persen warga Kurdi memilih "ya" untuk memisahkan diri dengan Irak. Hasil tersebut, menurutnya, harus direspons Pemerintah Irak untuk menggelar dialog serius dengan pihaknya.
Dalam sebuah pidato di televisi, pada Selasa (26/9), Barzani mengatakanm suara "ya" telah menang telak dalam referendum. Kemenangan suara ini, menurutnya, harus mendorong Baghdad untuk melakukan dialog, bukan sebaliknya, yakni mengancam Pemerintah Daerah Kurdistan dengan sanksi.
"Kami mungkin menghadapi kesulitan, tapi kami akan mengatasinya," ujar Barzani yang menyerukan kekuatan dunia untuk menghormati kehendak jutaan orang Kurdi yang berpartisipasi dalam referendum tersebut.
Sebelumnya Pemerintah Irak menolak untuk menjalin dialog dengan pemimpin Kurdi di negaranya. Sikap ini masih dipertahankan walaupun referendum Kurdi telah memperlihatkan hasil kemenangan cukup telak. "Kami belum siap untuk berdiskusi atau berdialog tentang hasil referendum karena itu tidak konstitusional," kata Perdana Menteri Irak Haidar-al Abadi.
Alih-alih menuruti permintaan Barzani, Abadi justru mendesak warga Kurdi untuk menyerahkan kontrol bandara mereka kepada pemerintah pusat. Penyerahan kontrol bandara harus dilakukan dalam waktu tiga hari. Bila tidak, Abadi mengancam akan memberlakukan embargo ekonomi terhadap Pemerintah Daerah Kurdistan.
Tak hanya itu, Pemerintah Irak juga telah memberlakukan jam malam di Kirkuk, daerah yang memiliki sumber daya minyak cukup besar. Secara teritorial, Kirkuk berada di luar wilayah Pemerintah Daerah Kurdistan. Namun pasukan Kurdi berhasil menguasai wilayah itu setelah merebutnya dari milisi ISIS pada 2014 lalu.
Serangan militer pun dimungkinkan untuk mengambil alih Kirkuk dari pasukan Kurdi. "Kami sebagai Popular Mobilisation akan sepenuhnya siap untuk melaksanakan perintah Abadi bila dia meminta untuk membebaskan Kirkuk dan ladang minyak dari milisi separatis," kata Hashim al-Mouasawi, seorang juru bicara kelompok paramiliter al-Nujabaa.
Tak hanya Abadi, ancaman terhadap Pemerintah Daerah Kurdistan di Irak juga dilayangkan oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Ia mengaku sangat kecewa terhadap referendum yang digelar oleh warga Kurdi di Irak. "Keputusan referendum ini, yang diambil tanpa konsultasi, adalah sebuah pengkhianatan," ujar Erdogan.
Ia menilai, referendum yang digelar Pemerintah Daerah Kurdistan berpotensi memicu perang etnis dan sektarian. "Jika pemerintah daerah Barzani dan Kurdi tidak segera kembali dari kesalahannya sesegera mungkin, mereka akan turun dalam sejarah dengan rasa malu karena menyeret wilayah tersebut ke dalam perang etnis dan sektarian," katanya, seperti dikutip the Guardian.