REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Jumlah penderita HIV/AIDS di Kota Malang dari tahun ke tahun terus bertambah, yakni mencapai sekitar 3.800 penderitan, bahkan menempati urutan kedua di Jawa Timur setelah Surabaya. Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Malang Asih Tri Racmi Nuswantari, Kamis (28/9) mengatakan jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) itu tidak bisa disebut meningkat.
"Kasus HIV/AIDS ini seperti fenomena gunung es, artinya jumlah itu merupakan hasil temuan," kata Asih di Malang, Jawa Timur.
Ia mengatakan bisa saja penderita HIV/AIDS ini tidak ditemukan pada tahun-tahun sebelumnya dan baru ditemukan tahun ini. Temuan baru kasus ODHA tesrebut memberi harapan bagi petugas kesehatan, sebab petugas tahu keberadaan ODHA, mereka bisa melakukan pemantauan untuk menjaga kualitas hidup ODHA.
ODHA, lanjutnya, bisa tetap survive dengan berbagai upaya, di antaranya dengan pemberian antiretroviral (ARV). Selain itu, keberadaan klinik VCT di puskesmas dan sejumlah rumah sakit di Kota Malang membantu ODHA untuk melakukan konsultasi, termasuk pendampingan.
"Masyarakat pun bisa melakukan pemeriksaan atau tes di klinik VCT ini, semakin cepat diketahuinya penderita HIV/AIDS akan semakin cepat pula bisa dipantau dan ditangani," ujarnya.
Berdasarkan data Dinkes Kota Malang, hingga September 2017, jumlah ODHA di wilayah itu 3.800 orang. Pada tahun 2016, jumlah penderita baru mencapai 316 orang dan pada 2017 hingga September mencapai 219 penderita baru. Sementara itu Wakil Wali Kota Malang Sutiaji sebelumnya mengatakan kasus ODHA merupakan masalah krusial.
"Sekarang baru sekitar 3.800 orang yang melapor. Mungkin ada penderita yang tidak berani melapor. Ini berbahaya, sehingga program Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) harus punya target, paling tidak meminimalkan jumlah ODHA, bahkan kalau bisa ya tidak ada ODHA baru lagi," paparnya.
Sutiaji mengakui Kota Malang rentan terhadap penyebaran HIV-AIDS karena Kota Malang menjadi kota terbuka, banyak pendatang yang keluar dan masuk kota pendidikan itu, terutama mahasiswa, pelajar, dan pekerja. "Oleh karenanya, penanganannya tidak bisa hanya dari satu sektor, harus lintas sektor dan melibatkan semua pihak," ujarnya.