REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Manifestasi pemanfaatan kondisi demokrasi rakyat Indonesia, berupa aksi demo umat Islam 299, diperkirakan akan diikuti oleh 50 ribu umat Islam dari seluruh Indonesia. Aksi ini adalah aksi konstitusional, untuk pertahankan suatu kebijakan politik.
"Aksi umat Islam ini sungguh konstitusional dan merupakan bentuk partisipasi politik dalam mempertahankan kebijakan politik atau TAP MPRS No.25 Tahun 1966 tentang Pembubaran dan Pelarangan PKI," ujar pengamat politik, Muchtar Effendy saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (28/9) siang.
Aksi 299 itu akan beresonansi terhadap umat Islam se-Indonesia, untuk memberi sinyal agar terus waspada dan kritis dalam menghadapi bangkitnya kembali PKI dan kekuatan komunisme atau munculnya komunisme gaya baru.
Aksi 299 menandakan agar umat Islam harus mendukung segala bentuk kegiatan anti PKI dan komunisme, termasuk pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI. "Dari politik pemerintahan, Aksi 299 ini akan memberi penekanan publik langsung terhadap MPR," papar Muchtar.
Ormas yang terlibat dalam aksi 299 itu, tidak menyetujui setiap upaya individu atau kelompok tertentu yang menuntut pencabutan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966. Karena aksi 299 bersifat massal, tentu mengesankan umat Islam secara massal akan menghadapi dan melawan setiap upaya MPR juga Presiden mencabut TAP MPRS tersebut.
"Bisa jadi, akan muncul slogan 'TAP MPRS No. 25 Tahun 1966 harga mati' dalam aksi itu," ujar Muchtar.
Ketua Presidium Alumni 212 Slamet Maarif memastikan agenda aksi 299 hanya ada dua, yaitu menolak Perppu No.2 Tahun 2017 dan melawan kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI). Menurut dia, indikasi kebangkitan PKI semakin menguat dan nyata di Indonesia.
Selain untuk menolak bangkitnya PKI, Slamet menjelaskan, Presidium Alumni 212 menggunakan hak politiknya untuk protes dan menyatakan pendapat soal Perppu No.2 Tahun 2017. Menurut dia, Perppu tentang pembubaran ormas itu cacat hukum dan mengkerdilkan demokrasi serta penegakkan hukum di Indonesia.