REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pedagang kaki lima (PKL) Jalan Abu Bakar Ali, Kota Baru, Yogyakarta, menduga ada usaha untuk mengadu domba sesama PKL. Hal itu dikarenaka dari 28 PKL, hanya 18 yang diberitahu akan digusur. "Ada kepentingan politis apa di balik penggusuran ini karena dari sekitar 28 PKL, ada 10 PKL di blok timur Gereja St Antonius yang tidak terkena dampak penggusuran," kata Koordinator PKL Agung Wibowo Budiono, Kamis (28/9).
Terlebih, lanjut Agung, PKL yang ada di sana bukanlah PKL liar. Alasannya mereka resmi dan sah terdaftar sesuai Perda Kota Yogyakarta Nomor 26 Tahun 2002 tentang PKL di Yogyakarta. Selain itu, Jalan Abu Bakar Ali dinilai bukan penggal jalan yang dilaranf berjualan.
Penggusuran yang tak merata membuat dugaan adanya diskriminasi semakin kuat. Bisa jadi, itu merupakan satu langkah memecah kekuatan' kerukunan sesama pedagang yang telah puluhan tahun senasib dalam Paguyuban Pedagang Kaki Lima Kota Baru (Papiko). "Sebab, Ketua Papiko tidak berbuat apa-apa, dan saat kami tanya ia mengaku tidam mendapat undangan itu, masa sih pimpinan paguyubannya tidam diundang ini ada apa," ujar penjual helm tersebut.
Pengumuman penggusuran sendiri baru dilakukan pada 18 September lalu, saat mereka diundang untuk rapat koordinasi permasalahan PKL Kota Baru. Saat itu, malah cuma terjadi monolog, bukan dialog apalagi klaim ada kesepakatan kalau pedagang setuju digusur.
Menurut Agung, belum ada sosialisasi satu kalipun, dan mereka tidak ada yang menerima surat pengosongan lahan. "Kami hanya butiran debu yang juga ingin hidup layak di bumi pertiwi NKRI ini, kami hanya menuntut rasa berkeadilan sosial yang berperikemanusiaan," kata Agung.
Pedagang sarung tangan di Abu Bakar Ali, Beni menuturkan, tidak ada surat kesepakatan yang ditandatangani, jadi tidak tahu bila ada klaim perwakilan dari mana. Saat rapat, ia bersama 18 PKL lain hanga ditanya setuju tidak bjla digusur dan semua menolak. "Kalau dibilang ada perwakilan yang telab sepakat itu tidam tahu siapa," ujar Beni.
Senada, pedagang aksesoris motor di Abu Bakar Ali, Narto, mengungkapkan saat itu cuma ada satu orang PKL yang diminta tanda tangan. Tapi, PKL itu cuma diminta sebagai penghubung PKL dan Pemkot Yogyakarta, jadi tidak pernah ada kesepakatan untuk penggusuran. "Cuma ada yang diminta tanda tangan sebagai penghubung, bukan sepakat, tidak ada yang sepakat soale kita resmi, kita semua menolak," kata Narto.