Kamis 28 Sep 2017 22:58 WIB

Marak OTT Kepala Daerah, Ini Analisis BPKP

Rep: Dian Erika N/ Red: Andri Saubani
Bupati Batubara OK Arya Zulkarnaen (tengah) dikawal petugas ketika terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK, sebelum diberangkatkan ke Jakarta di Mapolda Sumut, Medan, Sumatera Utara, Rabu (13/9) malam.
Foto: Antara/Septianda Perdana
Bupati Batubara OK Arya Zulkarnaen (tengah) dikawal petugas ketika terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK, sebelum diberangkatkan ke Jakarta di Mapolda Sumut, Medan, Sumatera Utara, Rabu (13/9) malam.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Ardan Adiperdana, mengatakan faktor pengendalian internal menjadi kunci mengatasi potensi tindak pidana korupsi di daerah. Jika kepala daerah sudah terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK, maka dipastikan yang bersangkutan tidak berkomitmen dalam menjaga sistem pengendalian internal.

Ardan mengatakan, sistem pengendalian internal merupakan bagian fondasi dari pengawasan sistem antikorupsi. Sementara itu, fondasi kedua adalah individu pelaku pemerintahan. "Jika pimpinan sudah tertangkap dalam OTT, maka membuktikan dia sudah mengingkari sistem pengendalian internal dari perencanaan dan pelaksanaan pembangunan (di daerahnya)," ujar Ardan ketika dikonfirmasi Republika, Kamis (28/9).

Dia menjelaskan, pimpinan daerah adalah elemen pertama dalam pengandalian internal. Kepala daerah bertugas mengidentifikasi risiko-risiko yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan pembangunan daerah.

Risiko yang dimaksud termasuk soal area rawan korupsi. "Secara internal, dia memiliki wewenang menjalankan rambu-rambu yang membuat orang menjadi segan menyentuh area rawan korupsi," lanjut Ardan.

Elemen kedua dan ketiga adalah aturan dan sistem informasi dalam menyampaikan peraturan pengawasan internal. Dengan sosialisasi yang baik, akan mendukung iklim pengendalian yang baik.

Elemen keempat adalah evaluasi pengendalian. Jika keempatnya sudah dilakukan, maka sistem pengendalian secara internal sudah berjalan. "Sementara itu, jika kepala daerah tertangkap OTT, siapa yang akan menjadi pelaku pengendalian ? Bisa jadi proyek yang sudah berjalan dan tersangkut korupsi menjadi mangkrak dan merugikan masyarakat," tambahnya.

Pihaknya pun mengingatkan ada celah lain dalam memberikan gratifikasi bagi pejabat lewat proyek di daerah. Jika tidak ada pengawasan internal dari daerah, maka kontraktor memiliki kesempatan untuk menyusun harga perkiraan pembangunan proyek.

Padahal, semestinya, daerah bisa menyusun berdasarkan harga perkiraan sendiri (HPS). "Jika tidak, maka harga yang sudah diajukan kontraktor bisa jasi harga yang sudah tinggi. Berarti mereka punya biaya lebih sehingga lebih mudah melakukan gratifikasi," jelas Ardan.

Karenanya, dia sepakat jika pemerintah akan memberkakan 50 persen materi antikorupsi dalam pelatihan kepala daerah. Arda juga berpendapat inspektorat daerah ikut mendukung upaya ini. "Sebab BPKP tidak bisa langsung turun ke semua daerah-daerah," tuturnya.

Sementara itu, berdasarkan data yang dihimpun Republika, ada lebih dari empat kepala daerah yang terjaring OTT KPK selama tiga bulan terakhir. OTT terhadap kepala daerah pada 2017 diawali dengan penangkapan Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti dalam OTT yang dilakukan pada 21 Juni. Ridwan dan istrinya diduga menerima suap berupa fee sebanyak 10 persen terkait dua proyek pembangunan jalan Tahun Anggaran 2017 di Provinsi Bengkulu.

Pada 2 Agustus, KPK juga mengamankan Bupati Pamekasan Achmad Syafii (ASY). Saat itu, para pejabat di Pemerintah Kabupaten Pamekasan diduga menyuap Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan sebesar Rp 250 juta.

Pada 29 Agustus, tim Satgas KPK menangkap Wali Kota Tegal, Siti Masitha di rumah dinas wali kota di Kompleks Balai Kota, Jalan Ki Gede Sebayu, Kota Tegal. Dalam OTT ini, KPK berhasil menyita uang tunai sejumlah Rp 200 juta yang diduga sebagai bagian dari gratifikasi Rp 300 juta yang diberikan kepada Siti Masitha.

Selanjutnya, pada 13 September, tim satgas KPK mengamankan Bupati Batubara, OK Arya Zulkarnain. Ia diduga menerima suap terkait beberapa pekerjaan pembangunan infrastruktur di Kabupaten Batubara tahun anggaran 2017.

Pada 16 September, tim satgas KPK mendapati Wali Kota Batu Eddy Rumpoko menerima suap proyek pengadaan meubelair di Pemerintah Kota (Pemkot) Batu tahun anggaran 2017, ia tertangkap tangan menerima uang sebesar Rp 200 juta di rumah dinasnya.

Terakhir, pada Sabtu (23/9), KPK menetapkan Wali Kota Cilegon, Tubagus Iman Aryadi sebagai tersangka kasus suap terkait perizinan pada Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal Kota Cilegon Tahun 2017. Pemberian suap diindikasikan untuk memuluskan proses perizinan rekomendasi AMDAL untuk pembangunan Transmart.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement