Sabtu 30 Sep 2017 00:48 WIB

Catatan ICJR Soal Kemenangan Praperadilan Setnov

Rep: Santi Sopia/ Red: Gita Amanda
Hakim tunggal Cepi Iskandar memimpin sidang praperadilan Setya Novanto terhadap KPK terkait status tersangka kasus dugaan korupsi KTP Elektronik di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (25/9).
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Hakim tunggal Cepi Iskandar memimpin sidang praperadilan Setya Novanto terhadap KPK terkait status tersangka kasus dugaan korupsi KTP Elektronik di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (25/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi W. Eddyono memiliki beberapa catatan terkait dikabulkannya sebagian gugatan praperadilan Ketua DPR RI Setya Novanto (Setnov). Pertama, catatan penting menurut Supriyadi adalah putusan praperadilan ini tidak menggugurkan kewenangan KPK untuk kembali menetapkan yang bersangkutan menjadi tersangka. 

"Hal ini jelas diatur dalam Pasal 2 ayat (3) PERMA No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan," katanya melalui keterangan tertulis, Jumat (29/9) malam. 

 

Sepanjang KPK yakin dan memiliki dua alat bukti sebagaimana diatur dalam PERMA Nomor 4 Tahun 2016, kata dia, maka Setnov masih bisa ditetapkan menjadi tersangka. Kedua, ICJR menyoroti alasan hakim yang menyatakan ada kesalahan prosedur karena penetapan tersangka dilakukan di awal penyidikan. Secara ideal memang penyidikan dilakukan untuk membuat terang suatu tindak pidana dan menemukan tersangka, namun juga tidak bisa diacuhkan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (2) PERMA Nomor 4 Tahun 2016 menyatakan bahwa sah tidaknya penetapan tersangka hanya dinilai berdasarkan “aspek formil” melalui paling sedikit dua alat bukti yang sah.

 

"Bahwa dengan kata lain, sepanjang KPK mampu menunjukkan ada 2 (dua) alat bukti yang sah untuk menetapkan SN (Setya Novanto) sebagai tersangka, secara normatif, maka praperadilan tidak lagi relevan menilai konteks apakah penetapan tersangka ditempatkan di awal atau di akhir penyidikan," lanjut dia.

 

Selain itu, perlu dicatat, secara praktik dan teori yang dimaksud “aspek formil” adalah aspek perolehan dan validitas alat bukti, bukan menyangkut penilaian hakim terhadap bukti tersebut. Maka harusnya hakim, menurut dia, berfokus menilai apakah perolehan alat bukti yang diajukan KPK untuk menetapkan SN sebagai tersangka sah atau tidak?

 

Ketiga, hal paling menarik adalah ketika hakim menyebutkan bahwa bukti yang diajukan tidak boleh bukti yang digunakan dalam kasus  lain. Memang pertimbangan ini cukup membingungkan sebab hukum pidana mengenal beberapa ketentuan dan teori yang secara langsung membuka peluang sebuah alat bukti digunakan pada lebih dari satu tersangka atau terdakwa.

 

Contohnya dalam konteks aturan Penyertaan yang diatur dalam Bab V KUHP, maka satu alat bukti, misalnya saksi yang melihat suatu perbuatan pidana terjadi, dimungkinkan melihat lebih dari satu orang melakukan tindak pidana, dalam praktik. Apabila kasus diperiksa secara terpisah, maka seorang saksi yang merupakan bagian alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP, sah dijadikan alat bukti dalam dua pemeriksaan kasus tersebut. Hal ini berlaku untuk alat bukti lainnya seperti Surat, sepanjang bisa menerangkan keterkaitan dan membuktikan perbuatan pidana terjadi untuk memenuhi unsur delik.

 

Dalam kasus korupsi yang sifatnya terorganisir juga, dia menjelaskan, maka terbuka peluang kemungkinan besar adanya penyertaan, menjadi mengherankan apabila alat bukti yang sama tidak dapat digunakan dalam kasus dengan terdakwa lain. "Dan lebih dari itu, kembali ke poin kedua, mestinya Hakim hanya menilai 'aspek formil' dari alat bukti, bukan soal penilaian atas alat bukti itu, hal tersebut merupakan domain dan kewenangan dari pemeriksaan pokok perkara di ruang sidang," katanya menambahkan.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...

Apa yang paling menarik bagi Anda tentang Singapura?

1 of 7
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement