REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Indonesia Corruption Watch Lalola Easter mengatakan dikabulkan permohonan praperadilan Setya Novanto tidak bisa dilepaskan dari konteks yang lebih, yaitu proses politik yang sedang berjalan di DPR, Pansus Angket KPK.
"Putusan praperadilan Setya Novanto ini dikhawatirkan akan menjadi dasar bagi Pansus Angket untuk mengeluarkan rekomendasi yang bukan saja kontra-produktif dengan upaya pemberantasan korupsi tapi juga melemahkan KPK," kata dia dalam keterangan persnya, Sabtu (30/9).
Terlepas dari legalitas perpanjangan masa kerja Pansus Angket KPK, menurut Lalola, bukan tidak mungkin rekomendasi yang akan dikeluarkan oleh Pansus Angket KPK nanti dilakukan juga berdasarkan hasil putusan praperadilan Novanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Hakim Praperadilan Setya Novanto, Cepi Iskandar memutuskan penetapan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Ketua DPR RI sekaligus Ketum Partai Golkar itu tidak sah. Hakim pun memerintahkan KPK untuk menghentikan penyidikan terhadap Setya Novanto yang berdasarkan sprindik tertanggal 17 Juli 2017.
"Mengabulkan permohonan praperadilan untuk sebagian dan menyatakan surat perintah penyidikan (sprindik) terhadap Setya Novanto tertanggal 17 Juli 2017 yang menetapkan pemohon sebagai oleh termohon tidak sah," kata Hakim Cepi saat membacakan putusan, Jumat (29/9).
Setnov sebelumnya disangkakan Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan KTP-el.