Ahad 01 Oct 2017 21:34 WIB

Putusan Praperadilan Setnov Belum Tentu Jadi Yurisprudensi

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Ratna Puspita
Hakim tunggal Cepi Iskandar memimpin sidang praperadilan Setya Novanto terhadap KPK terkait status tersangka kasus dugaan korupsi KTP Elektronik di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (25/9).
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Hakim tunggal Cepi Iskandar memimpin sidang praperadilan Setya Novanto terhadap KPK terkait status tersangka kasus dugaan korupsi KTP Elektronik di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (25/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Indriyanto Seno Adji menyatakan putusan praperadilan Setya Novanto belum tentu menjadi yurisprudensi (salah satu sumber hukum) bagi perkara praperadilan lain yang serupa dengan perkara Setnov.

"Sistem peradilan pidana kita tidak mengenal case-law berupa yurisprudensi, artinya putusan hakim tidak mengikat secara absolut bagi Hakim lainnya terhadap perkara yang sama," tutur dia melalui pesan singkat, Ahad (1/10).

Juru Bicara Komisi Yudisial Farid Wajdi mengatakan hal senada. Dia menuturkan asas yurisprudensi pada dasarnya tidak fimiliar pada sistem hukum civil-law yang diadopsi di Indonesia. Hakim di Indonesia punya kebebasan masing-masing dalam menentukan vonisnya tanpa harus rujuk pada putusan sebelumnya.

Menurut dia, ada banyak contoh praperadilan status tersangka seseorang yang berujung pada penolakan hakim. Dalam membuat putusan, Hakim juga perlu mendengar aspirasi publik dan peka terhadap konteks yang ada di kalangan masyarakat.

"Perlu ditekankan, bahwa independen tidak berarti buta dan kedap pada aspirasi publik, betul bahwa hakim tidak boleh terpengaruh, tapi tidak berarti hakim tidak boleh peka," ujar dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement