Senin 02 Oct 2017 20:31 WIB

Perdana Menteri Palestina Kunjungi Gaza untuk Rekonsiliasi

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Perdana Menteri Palestina Rami Hamdallah.
Foto: Reuters
Perdana Menteri Palestina Rami Hamdallah.

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Perdana Menteri Otoritas Palestina Rami Hamdallah tiba di Jalur Gaza, Senin (2/10). Kunjungannya ke sana merupakan bentuk upaya rekonsiliasi yang sedang ditempuh kelompok Fatah dan Hamas.

Dalam sebuah konferensi pers, Hamdallah mengungkapkan bahwa kunjungannya ke Jalur Gaza merupakan momen bersejarah menuju persatuan rakyat Palestina. Otoritas Palestina, yang diwakili kelompok Fatah, memang telah terlibat perselisihan dengan Hamas yang mengontrol Gaza sejak 2007.

"Kami datang atas perintah Presiden Palestina Mahmoud Abbas untuk mengumumkan ke seluruh dunia, dari jantung Gaza, bahwa negara Palestina tidak bisa tanpa kesatuan politik antara Tepi Barat dan Gaza," kata Hamdallah, seperti dilaporkan laman Aljazirah.

Menurutnya, penyelesaian perselisihan antara Fatah dengan Hamas merupakan satu-satunya jalan mewujudkan negara Palestina yang utuh. "Kami tahu bahwa satu-satunya cara untuk mencapai tujuan kita adalah melalui persatuan, dan untuk melindungi sistem politik Palestina," kata Hamdallah menerangkan.

Ia mengungkapkan bahwa Otoritas Palestina menyambut baik keputusan Hamas untuk membubarkan komite administratif yang bertugas mengontrol pemerintahan di Gaza. Terlebih lagi pembubaran komite tersebut dilakukan dalam semangat rekonsiliasi dengan Fatah.

"Keputusan Hamas untuk menanggapi inisiatif Abbas dan membubarkan komite administratif merupakan langkah penting yang akan kita bangun dengan banyak pekerjaan," ujar Hamdallah.

Dengan dibubarkannya komite administratif Hamas, Otoritas Palestina, kata Hamdallah, akan mulai mengambil tanggung jawab pemerintahan di Gaza. Ia menambahkan bahwa beberapa komite telah dibentuk untuk menangani masalah penyeberangan perbatasan dan pegawai Otoritas Palestina di Jalur Gaza.

Juru bicara Kementerian Dalam Negeri Gaza Iyad al-Buzom mengungkapkan, pihaknya memang telah bertekad untuk mengakhiri segala perpecahan dan perselisihan antara Hamas dengan Fatah. "Kami berharap dapat membalik semua halaman perpecahan selamanya dan mencapai rekonsiliasi nasional yang komprehensif yang akan memperkuat kegigihan rakyat kita dan mempertahankan hak-hak mereka," ujar al-Buzom menjelang kedatangan Hamdallah ke Gaza.

Akhir bulan lalu, delegasi Hamas menggelar pertemuan dengan diplomat Mesir di Kairo. Setelah pertemuan tersebut, Hamas memutuskan untuk membubarkan komite administratifnya, yang sejak 2007 memikul tanggung jawab atas pemerintahan di Gaza. Tak hanya itu, Hamas pun menyatakan kesediaannya untuk berdamai dengan pesaingnya yang berbasis di Tepi Barat, yakni kelompok Fatah, tanpa mengajukan prasyarat apapun.

Oleh sebab itu, sebuah delegasi keamanan Mesir yang dipimpin oleh Duta Besar Mesir untuk Israel Hazem Khairat, akan memantau proses rekonsiliasi antara kedua kubu yang telah berselisih selama satu dekade. Hamas telah menjadi penguasa de facto di Jalur Gaza sejak 2007. Mereka menguasai Gaza setelah berhasil mengalahkan partai Fatah pimpinan Mahmoud Abbas yang telah lama dominan dalam pemilihan parlemen pada 2006.

Namun Fatah enggan mengakui hasil pemilihan tersebut. Hal ini yang memaksa Hamas mendepak Fatah dari Gaza melalui konfrontasi cukup sengit. Setelah itu, hubungan kedua kubu tak pernah harmonis. Beberapa upaya rekonsiliasi sempat dilakukan, namun semuanya berujung kegagalan. Salah satu penyebabnya adalah Hamas kerap mengajukan prasyarat rekonsiliasi, namun hal itu selalu ditolak Fatah.

Selama beberapa bulan terakhir, Hamas mendapat tekanan yang cukup berat dari tindakan Abbas terhadap Gaza. Abbas memutuskan untuk memotong gaji pegawai Otoritas Palestina yang tinggal di Gaza dan meminta Israel untuk mengurangi pasokan listrik ke wilayah tersebut. Hal ini dilakukan untuk menekan dan mendesak Hamas agar melepaskan kontrolnya atas wilayah tersebut.

Keputusan Abbas tersebut menjadi salah satu faktor penyebab krisis kemanusiaan di Gaza, yang menurut PBB, merupakan salah satu yang terparah di dunia. Penduduk di sana kesulitan mendapatkan akses kesehatan karena blokade dan terpaksa hidup hanya dengan suplai listrik selama tiga hingga empat jam per hari.

Oleh sebab itu, banyak pihak mengharapkan upaya rekonsiliasi yang sedang dijalani Fatah dan Hamas berjalan baik. Hal ini juga diungkapkan analis politik yang berbasis di Gaza Waleed al-Modallal. Ia mengatakan saat ini rakyat Palestina, terutama mereka yang tinggal di Gaza, mengharapkan kondisi membaik untuk mereka.

"Ada udara positif dan optimistis di jalan, namun orang-orang (Palestina) juga berhati-hati dalam mengamati. Mereka berharap bahwa langkah ini (rekonsiliasi) akan mengurangi situasi ekonomi sulit di Gaza, penyeberangan perbatasan akan dibuka lebih sering, masalah pegawai Otoritas Palestina akan dipecahkan, dan listrik akan dikembalikan," ungkap al-Modallal.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement