REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Mantan kandidat presiden Amerika Serikat (AS) dalam pemilihan umum 2016, Hillary Clinton meminta agar aturan pengendalian senjata di negaranya harus diperketat. Pernyataan ini datang menyusul penembakan massal yang terjadi di Las Vegas pada Ahad (1/10) malam.
Clinton mengkritik bahwa pengendalian senjata yang tidak dilakukan secara ketat hanya akan membuat banyak nyawa terancam. Tak sedikit warga sipil di AS yang berada dalam bahaya, meski mereka melakukan kegiatan di tempat-tempat yang ditujukan untuk publik dan dianggap aman.
"Kesedihan semua orang dalam peristiwa yang terjadi di Las Vegas tidaklah cukup. Kita harus berdiri dan bekerjasama untuk mencegah peristiwa ini terjadi kembali," ujar Clinton melalui Twitter, dilansir The Telegraph, Senin (2/10).
Ia juga mengkritik National Rifle Association (NRA) yang menjadi asosia lobi senjata utama di AS. NRA telah menentang langkah apapun yang bertujuan memperketat peraturan kepemilikan senjata.
Clinton sebelumnya pernah mengatakan bahwa henda menghapus amandemen kedua dalam konstitusi AS. Dalam konstitusi tersebut diatur hak warga negara adidaya tersebut untuk memiliki senjata.
"Bayangkan jika kematian yang terjadi saat ini hanya akan didiamkan, termasuk pelaku, di mana NRA telah memudahkan ia untuk melakukan aksi kejahatan," jelas Clinton.
Saham perusahaan pembuat senjata api sebelumnya dilaporkan meningkat, khususnya di era kepemimpinan Presiden AS Donald Trump mulai 20 Januari lalu. Miliarder yang mendapat dukungan NRA itu juga pernah mengatakan bahwa usulan Clinton untuk menghapus amandemen kedua Konstitusi AS sangat buruk, karena itu membuat warga menghadapi resiko dari penjahat.
Sementara itu, Amnesti Internasional AS mengatakan bahwa pemerintah di negara itu harus segera bertindak. Peraturan mengenai kepemilikan senjata harus diatur secara ketat dengan mempertimbangkan aspek kemanusiaan.
"Pemerintah AS harus menjunjung tinggi kewajiban berdasarkan hukum internasional dan melihat bahwa kekerasan dengan menggunakan senjata api adalah bagian dari krisis hak asasi manusia," ujar direktur Amnesti Internasional AS Margaret Huang.
Ia menuturkan bahwa Pemerintah AS harus melihat bahwa peraturan itu dapat melindungi siapapun dari kejahatan menggunakan senjata. Kehidupan setiap orang tidak lagi terancam saat mereka tengah sekadar melakukan aktivitas sehari-hari dan sesuatu yang menyenangkan, seperti berjalan ke pusat perbelanjaan maupun pergi sekolah, hingga menonton konser.
Penembakan massal yang terjadi di Las Vegas pada Ahad (1/10) malam, tepatnya berlangsung sekitar pukul 22.08 waktu setempat. Setidaknya 58 orang tewas dan 515 lainnya terluka dalam peristiwa ini.
Pelaku di balik peristiwa ini diketahui adalah pria bernama Steve Paddock yang meluncurkan serangan dari lantai 32 Hotel Mandalay Bay.
Pria yang diidentifkasi berusia 64 tahun itu mengarahkan tembakan kepada kerumunan penonton dalam festival terbuka. Saat itu, setidaknya ada 22 ribu orang yang hadir mengikuti acara tersebut.
Pelaku yang diserbu oleh kepolisian kemudian mengakhiri nyawanya sendiri. Saat operasi untuk menghentikan aksi Paddock dilakukan, ia telah tewas dan sebanyak 10 senjata ditemukan di ruangan kamar tempatnya melepaskan tembakan.
Kepolisian mengatakan Paddock berasal dari Mesquite, Nevada dan menetap di sana. Kemudian, pihak berwenang di kota tersebut juga melakukan penyelidikan terhadap tempat tinggal pelaku dan menemukan sejumlah senjata. Meski demikian, tidak pernah ada catatan kriminal yang ia miliki selama ini.