REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Sanksi ekonomi dan keuangan terhadap Kurdi yang akan segera diberlakukan Irak, dikhawatirkan dapat menyulitkan warga Kurdi. Namun Perdana Menteri Irak Haidar Al-Abadi, pada Senin (2/10), mengatakan pemerintahannya tidak akan menargetkan atau menghukum warga Kurdi.
Menurut Al-Abadi, Irak hanya menuntut agar para pemimpin Kurdi membatalkan referendum kemerdekaan mereka. Kurdi juga diminta berkomitmen sepenuhnya terhadap persatuan konstitusional Irak dan menghentikan provokasi di wilayah yang mereka kuasai secara ilegal.
Sanksi ini akan diterapkan agar pemerintahan di Irbil bersedia melakukan pembicaraan dengan Baghdad, setelah melakukan referendum kontroversial. Dalam referendum tersebut, 90 persen pemilih di Wilayah Kurdistan Irak mendukung kemerdekaan.
"Mereka harus berurusan dengan Baghdad sebagai otoritas federal yang memiliki kekuasaan federal di dalam wilayah ini," kata Ehssan Al-Shimiri, seorang penasihat Perdana Menteri Al-Abadi, kepada Arab News.
"Mengajukan sanksi larangan penerbangan internasional adalah pesan bahwa otoritas federal masih berlaku di wilayah tersebut, dan bahwa pemerintah memiliki hak untuk mengambil tindakan lebih lanjut terhadap para pemimpin Kurdi," tambah dia.
Baghdad mengatakan, referendum itu ilegal dan tidak konstitusional, serta memberlakukan larangan penerbangan internasional ke dan dari bandara Irbil dan Sulaymaniyah. Para pemimpin Kurdi bersikeras hasil referendum harus menjadi dasar perundingan dengan pemerintah.
Presiden Kurdi Masoud Barzani dan pemimpin Kurdi lainnya tiba di Kirkuk pada Senin (2/10) untuk bertemu dengan komandan milisi Peshmerga mereka. Para komandan yang bertemu dengan Barzani adalah Kamal Kirkuki, Mustafa Chao Rish, Sierwan Barazani, dan Jaafar Shiekh Mustafa.
Kirkuk adalah pusat kilang minyak dengan mayoritas penduduk Kurdi, namun bukan merupakan bagian resmi dari Wilayah Kurdistan. "Identitas Kirkuk adalah orang Kurdi dan referendum adalah alat untuk melegitimasi keputusan rakyat," ujar Barzani.