Selasa 03 Oct 2017 15:32 WIB

Yusril Pertanyakan Pertimbangan MK

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Bilal Ramadhan
Yusril Ihza Mahendra
Foto: ROL/Abdul Kodir
Yusril Ihza Mahendra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra, mempertanyakan pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam pengujian materi terhadap aturan ambang batas pencalonan presiden (presidential treshold) dalam UU Pemilu Nomor 7/2017. Dia mengkritisi pertimbangan MK lebih mengarah kepada filsafat hukum jika dibandingkan dengan pertimbangan hukum.

"MK mengatakan bahwa hanya akan membatalkan satu norma yg dibentuk karena kebijakan hukum terbuka pengganti undang-undang (open legal policy), jika bertentangan dengan tiga hal. Pertama bertentangan dengan rasionalitas, kedua bertentangan dengan moralitas dan ketiga bertentangan dengan ketidakadilan yang tidak bisa ditolerir," ungkap Yusril dalam persidangan pendahuluan uji materi UU Pemilu di Gedung MK, Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (3/10).

Yusril mengemukakan jika hal ini ada dalam pertimbangan hukum mahkamah pada permohonan uji materi UU pemilu oleh Effendi Ghazali. Hal ini, katanya, menimbulkan pertanyaan terkait pertimbangan pengujian materi.

"Apakah itu bermakna MK mempersilakan kami mengujinya dengan filsafat hukum? tidak dengan UUD 1945? Sebab (pengujian) dengan UUD 1945 sudah berkali-kali ditolak," lanjutnya.

Yusril pun menuturkan bahwa argumentasi yang dipaparkan pihaknya merupakan argumen hukum. Sementara itu, jika berbicara mengenai moralitas, menurut dia hal itu terkait dengan ketidakadilan.

"Karena itu, kami ikuti argumen MK sendiri. Karenanya, mohon dipertimbangkan semua arguman kami yang sudah mengikuti alur pemikiran MK di mana tidak akan dikabulkan permohonan berkaitan dengan ambang batas itu kecuali bertentangan dengan rasionalitas," jelasnya.

Yusril lantas memberikan pandangan dan mencontohkan tindakan pemerintah yang dinilai hanya mementingkan diri sendiri dalam menyusun UU Pemilu. Dia menyatakan jika berdasarkan UU Pemilu ambangbatas pencalonan presiden menggunakan ambang batas yang dicapai pada Pemilu 2014.

Karenanya sudah dapat diprediksi siapa saja yang dapat dan tidak dapat mencalonkan diri dalam bursa Pilpres 2019. "Yang menarik, punya moral tidak pembentuk undang-undang yang membentuk aturan untuk untungkan dirinya sendiri dan menutup orang lain untuk jadi calon presiden? Selain itu,kalau pemilu serentak apakah juga cukup rasional kita bicara soal ambang batas. Bisa saja pada 2014 parpol itu ikut Pemilu dan menghasilkan treshold. Tetapi pada 2015 oleh MK parpol itu dibubarkan. Apa masih bisa treshold ini buat dipakai? Toh MK berwenang bubarkan parpol. Jadi aturan-aturan ini saya pikir lari ke filsafat, tidak lagi mengacu kepada undang-undang," tambahnya.

Persidangan pendahuluan uji materi UU Pemilu pada Selasa terdiri atas empat nomor perkara yaitu perkara Nomor 70 yang diajukan oleh Dewan Pimpinan Pusat Partai Bulan Bintang yang diwakili oleh Yusril Ihza Mahendra. Kemudian perkara Nomor 71 diajukan oleh Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay bersama dengan aktivis Yuda Kusumaningsih, dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

Sedangkan untuk perkara Nomor 72 diajukan oleh dua orang warga negara Indonesia bernama Mas Soeroso dan Wahyu Naga Pratala. Perkara keempat dengan Nomor 73 diajukan oleh Partai Pekerja Indonesia (Pika) dan Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI).

Pemohon perkara Nomor 70, 71, dan 72 mengajukan uji materi Pasal 222 UU Pemilu terkait ambang batas pencalonan presiden yang mereka nilai sudah tidak relevan untuk digunakan pada Pemilu 2019. Sementara pemohon perkara Nomor 73 mengajukan uji Pasal 173 ayat (2) dan (3) tentang ketentuan kualifikasi partai peserta Pemilu, yang dinilai pemohon telah menghambat pemohon untuk menjadi partai peserta Pemilu.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement