Selasa 03 Oct 2017 17:46 WIB

BPK: Indonesia Berpotensi Rugi karena Freeport Rp 6 Triliun

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Nur Aini
Ladang tambang terbuka yang dikelola PT Freeport Indonesia di Grasberg, Tembagapura, Timika, Papua.
Foto: Antara
Ladang tambang terbuka yang dikelola PT Freeport Indonesia di Grasberg, Tembagapura, Timika, Papua.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menerbitkan hasil pemeriksaan atas Kontrak Karya (KK) PT Freeport Indonesia pada 2013 hingga 2015. Temuannya, Indonesia berpotensi menanggung sejumlah kerugian akibat kontrak tersebut.

"Kami melakukan pemeriksaan pada April sampai Desember 2016, permasalahan yang kami temui ada sejumlah potensi kerugian yang didapatkan Indonesia pada 2009 hingga 2014," kata Auditor Utama IV BPK Saiful Nasution di Kantor BPK, Selasa (3/10).

Dia menjelaskan kerugian tersebut terkait adanya potensi kekurangan penerimaan iuran tetap dan royalti pada 2009 sampai 2014. Saiful mengatakan, potensi kerugian yang diterima Indonesia ada kemungkinan mencapai 445,96 juta dolar AS atau sekitar Rp 5,8 triliun.

Saiful menegaskan, potensi kerugian tersebut disebabkan oleh adanya ketidak sesuaian tarif. "Kalau berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Pasal 169, seharusnya kan ketentuan tarif dalam KK segera disesuaikan dengan PP Nomor 45 Tahun 2003 dan PP Nomor 9 Tahun 2012 paling lambat satu tahun," kata Saiful.

Ternyata, kata dia, ada keterlambatan penyesuaian tarif sehingga berpotensi untuk membuat Indonesia mengalami kerugian. Sebab, menurut dia, penyesuaian aturan tersebut baru dilakukan pada 2014 melalui penandatanganan resmi pada 25 Juli 2014.

Selain itu, BPK menyebut pengawasan dan pengendalian Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga belum maksimal. "Pengawasan Kementerian ESDM dalam pemasaran produk hasil tambang Freeport masih lemah," kata Saiful.

Padahal, kata dia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 menetapkan KK wajib membangun smelter paling lambat lima tahun sejak aturan tersebut berlaku atau paling lambat pada Januari 2014. Lalu kenyataannya, Freeport hingga saat ini belum membangun smelter tetapi melalui surat Menteri Perdagangan Nomor 1243 pada 25 Juli 2014 diizinkan mengekspor konsentrat.

Saiful bahkan menyebut BPK menemukan masalah saat pelarangan ekspor pada Januari sampai Juli 2014, Freeport tetap mengekspor konsentrat. "Freeport saat ini mengekspor konsentrat sebanyak tujuh invoice sebanyak 10.122,186 ton," ungkap Saiful.

untuk itu, Saiful menegaskan hasil pemeriksaan atas KK Freeport pada 2013 sampai 2015 mengungkapkan ada sebanyak 14 temuan yang memuat 21 permasalahan. Permasalahan tersebut, lanjut Saiful, meliput ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundangan-undangan senilai 181,45 ribu dolar AS atau setara dengan Rp 2,41 miliar.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement