REPUBLIKA.CO.ID, LAS VEGAS -- Gelombang kasus penembakan terus terjadi di Amerika Serikat (AS). Negeri Paman Sam pun menghabiskan dana sekitar 2,8 miliar dolar per tahun untuk merawat para korban tertembak.
"Cedera akibat senjata api menjadi beban keuangan departemen gawat darurat ditambah biaya rumah sakit," kata salah seorang peneliti dari Surgery Centre for Outcomes Research, Dr Faiz Gani, Selasa (3/10).
Tingginya biaya perawatan tersebut ditambah dengan total berbagai tagihan layanan kesehatan lainnya. Seperti, terapi fisik, konseling trauma, perawatan di rumah, dan kehilangan pendapatan.
Surgery Centre for Outcomes Research mencatat hampir 705 ribu pasien dirawat pada instalasi gawat darurat di sejumlah rumah sakit. Angka itu dihitung mulai 2014 hingga sembilan tahun ke belakang.
Faiz mengatakan 37 persen dari pasien tersebut harus menjalani rawat inap. Sementara delapan persen lainnya meningal dunia di rumah sakit.
"Pada 2015, 12.979 orang tewas diakibatkan senjata api dan 22.018 bunuh diri menggunakan pistol," kata Faiz.
Dia menambahkan 49,5 persen pasien merupakan korban dari serangan dan 35,5 persen korban sampingan. Angka percobaan bunuh diri mencapai 5,3 persen.
Menurut Faiz, pemerintah sebaiknya memeriksa latar belakang pembeli senjata api. Mereka, dia melanjutkan harus membatasi akses senjata api bagi orang-orang dengan riwayat kekerasan.
Seperti diketahui, beberapa kasus penembakan terjadi di AS sepanjang tahun ini. Pada 28 Mei peristiwa penembakan pecah pada tiga lokasi berbeda di Mississippi yang menewaskan delapa orang termasuk satu petugas kepolisian.
Peristiwa serupa juga kembali terjadi di Texas pada 10 September hingga menewaskan delapan orang. Terbaru, penembakan di Las Vegas yang merenggut 59 nyawa dan melukai 500 orang lainnya.