REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Panglima TNI Jenderal (Purnawirawan) Moeldoko mengaku enggan berkomentar terlalu jauh terkait paket senjata Stand-alone Grenade Launcher (SAGL) pesanan Korps Brimob Polri yang tertahan di Bandara Soekarno-Hatta. Menurut dia, ketika ada pesanan senjata impor, bisa saja melalui bandara komersial dalam keadaan tertentu.
Tetapi, dia enggan berkomentar terlalu jauh mengenai prosedur yang ada. "Nah itu saya tidak mau ngomong. Selama ini (menjabat Panglima), saya tidak sampai ke sana," kata Meldoko kepada awak media di Jakarta, Rabu (4/10).
Tetapi Moeldoko mengatakan, sepanjang pemesanan senjata termasuk dalam otoritas suatu instansi, dalam hal ini Polri, maka diperbolehkan. Karena bisa juga dari kepolisian yang punya otoritas. "Sepanjang tugas pokoknya dalam jangkauan atas (alutsista) yang dimiliki, maka tidak perlu diributkan," kata Moeldoko lagi.
Dia mengatakan, sebab sejak reformasi terjadi pemisahan TNI dan Polri. Jadi, kata dia, mungkin saja Polri berwenang atas pengadaan yang disebut dipesan sejak 2015 itu. Dia mengaku belum membaca doktrin, tugas pokok Brimob yang berlaku saat ini.
"Dulu kan Brimob pernah melakukan operasi bersama TNI di Timor Timur, jangan-jangan masih ada doktrin yang menyatakan tugas Brimob seperti itu. Jadi enggak perlu buru-buru ribut dulu, perlu ditanyakan dulu ke Brimob," lanjutnya.
Meski begitu, dia menambahkan, mekanisme pengadaan senjata ini tidak mudah. Ada aturan dan ketentuan-ketentuan yang sangat ketat.