REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Komunikasi politik Effendi Gazali menjadi salah satu pihak yang mengajukan gugatan Pasal 222 UU Pemilu tentang ambang batas pengajuan Capres (Presidential threshold). Effendi menilai penerapan presidential threshold dapat merugikan hak politik masyarakat.
Sebab menurutnya, aturan itu menjadikan calon pilihan menjadi terbatas. Selain itu, menurut Effendi, ambang batas Pilpres tidak tepat karena Pemilu 2019 dilaksanakan secara serentak.
"Apabila aturan ambang batas pencalonan presiden dipaksakan dengan mengacu pada hasil perolehan pemilu 2014, maka hal ini melanggar hak politik publik karena pada pemilu 2014 lalu publik tidak pernah tahu bahwa hak politiknya akan digunakan juga untuk kepentingan politik 2019," kata Effendi dalam siaran pers, Kamis (5/10).
Sementara Direktur Mahara Leadership, Iwel Sastra mendukung Effendi Gazali yang mengajukan gugatan pasal tersebut. Menurut Iwel, jangan sampai Pilpres mendatang mengarah kepada calon tunggal.
"Rakyat harus disuguhkan berbagai macam calon pemimpin. Dalam demokrasi kepemimpinan itu salah satunya bisa terlihat dalam kontestasi politik," kata pria itu.
Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi hari ini menggelar sidang keempat judicial review presidential threshold. Agenda sidang mendengar keterangan DPR, yang diwakili Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy.
Dalam sidang, Mantan Ketua Pansus RUU Pemilu itu mengatakan, terkait presidential treshold (PT) 20-25 persen, hal itu mengacu Pasal 6 huruf a ayat 2 UUD 1945. Politikus PKB itu menegaskan, presidential treshold tidak melanggar moralitas maupun rasionalitas. Lagipula, kata dia, aturan ini juga dipakai pada Pemilu lalu.
"Karena PT ini pernah dipakai dulu, kalau kita nyatakan melanggar azas rasionalitas, hati-hati lho, berarti putusan MK kemudian bisa balik dipertanyakan," katanya.