REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berislam yang berarti berserah diri kepada Allah mengajarkan tentang bagaimana orang memasrahkan kehidupan hanya kepada Sang Pencipta.
Waspadai Muslim. Perhatikan Kehidupan mereka. Apakah Me re ka terkait dengan ra dikalisme, bahkan terorisme. Jika betul terlibat maka langsung laporkan markas. Personel akan dikerahkan untuk me nga mankan mereka.
Pesan tersebut senantiasa tertanam dalam pikiran polisi Yahudi di Midwestern Ame rika Serikat, William. Personel berpangkat setara letnan ini selalu berada di te ngah kerumunan orang-orang yang mencurigai dan mewaspadai Muslim. Sikap tersebut terus ada, bahkan semakin menguat setelah gedung World Trade Center (WTC) dibom oleh sekelompok teroris pada awal abad ke-21.
Meski terjadi belasan tahun lalu, peristiwa tersebut masih tetap di ingat setiap orang. Tapi, anehnya, mengapa se lalu Muslim yang dicurigai. Mengapa bu kan kelompok lain. Apakah Muslim me mang melakukan kekerasan dan aksi teror?
Pertanyaan itu mengundang rasa ingin tahu William. Dia pun mengintensifkan patroli di wilayah yang dihuni Muslim. Tidak main-main, polisi berbadan tinggi dan tegap saat berdiri ini membawa shotgun dengan mengendarai pikap saat berpatroli.
Banyak orang memandangnya sebelah mata saat berpatroli. William pasti merasa tak nyaman jika bertemu dengan Muslim. Mereka biasanya menjaga jarak dan menjauhi William. Tapi, pada 1980-an dia bertemu dengan seorang Muslim bernama Nasir. Di saat orang lain memandangnya sebelah mata, Nasir justru menyambutnya dengan penuh keakraban.