REPUBLIKA.CO.ID, BANGLADESH -- Ribuan orang Rohingya yang terjebak di dalam Myanmar mengalami kelaparan dan membutuhkan perawatan medis di negara bagian Rakhine utara, di mana setengah juta etnis Muslim Rohingya telah melarikan diri dari tindakan keras tentara dan kekerasan komunal.
Abdulla Mehman, yang bekerja untuk sebuah agen bantuan di Buthitaung Township, mengatakan lebih dari 2.000 orang di desanya, Kwan Dine, kehabisan makanan, dan banyak lainnya menghadapi kekurangan.
"Kami tidak diizinkan untuk bergerak dengan bebas, dan orang-orang berjuang untuk bertahan hidup. Beberapa orang kelaparan," kata Mehman dilansir dari Aljazirah, Jumat (6/10).
Keluarga Rohingya di setidaknya empat desa lainnya di Rakhine utara - Kin Taung, Bura Shida Para, Kyar Gaung Taung, dan Sein Daung - juga melaporkan kekurangan pangan mendesak. Mereka menuduh tentara dan tetangga Buddha melakukan intimidasi, penjarahan, pemerasan dan pencurian ternak.
Laporan tersebut sulit diverifikasi secara independen, karena wilayah tersebut berada di bawah pengawasan tentara, namun catatan saksi sejalan dengan apa yang dilaporkan pengungsi Rohingya di negara tetangga Bangladesh kepada Aljazirah. Sekitar setengah juta Rohingya diperkirakan tinggal di negara bagian paling barat Myanmar.
"Tolong bantu kami. Kami sakit, tapi kami tidak bisa mencari pengobatan, kami tidak bisa bekerja dan kami tidak bisa makan," kata seorang wanita Rohingya dari desa Kin Taung, yang berbicara tanpa menyebut nama, memohon dalam percakapan telepon.
Satu kelompok yang terdiri dari 20 diplomat yang mengunjungi Rakhine utara dalam sebuah tur resmi pada hari Senin (2/10), menggambarkan situasi kemanusiaan di sana sebagai mengerikan, dan mendesak pemerintah Aung San Suu Kyi untuk melanjutkan layanan menyelamatkan nyawa tanpa diskriminasi. Human Rights Watch menyebutkan, orang-orang bisa meninggal di Negara Bagian Rakhine jika bantuan tidak segera tiba.
Pemerintah Myanmar tidak dapat dihubungi untuk memberikan komentar. Padahal mereka sebelumnya telah berjanji untuk memberikan bantuan kepada masyarakat yang terkena dampak kekerasan tersebut.
Banyaknya pengungsi yang masuk ke Bangladesh karena pembunuhan massal, pemerkosaan berkelompok, dan pembakaran seluruh desa telah menyebabkan PBB menuduh pemerintah Myanmar melakukan pembersihan etnis. Myanmar membantah hal tersebut.
Wanita di Kin Taung mengatakan bahwa tentara telah mengancam untuk memperkosa warga sipil dan membakar rumah-rumah Rohingya, dan memeras uang, makanan dan ternak dari mereka. Keluarganya harus menyogok tentara agar rumah mereka aman.
Suaminya, seorang petani berusia 30 tahun, mengatakan jika ada Rohingya yang terlihat di jalanan setelah salat Maghrib, maka akandidenda 200 ribu kyat Burma (147 dolar Amerika Serikat). "Jika mereka menemukan ternak, mereka juga mengambilnya," ujarnya.
Nay San Lwin, seorang aktivis Rohingya yang berbasis di Jerman, mengatakan Rakhine utara seperti penjara dan ribuan orang Rohingya terus melarikan diri dari rumah mereka setelah tentara mengintensifkan sebuah kampanye intimidasi dan pembakaran pekan ini.
Kantor kepala tentara Min Aung Hlaing, dalam sebuah posting Facebook pada Kamis (5/10), menyalahkan serangan baru pembakaran di Arakan Rohingya Salvation Front (ARSA).
Krisis pengungsi meletus setelah pejuang ARSA menyerang pos perbatasan pada 25 Agustus. Di beberapa daerah, kekerasan telah surut, namun Rohingya mengatakan bahwa mereka hidup dalam ketakutan.
"Situasinya tenang sekarang, tapi kita tidak bisa pergi ke toko untuk membeli kebutuhan karena kita takut umat Buddha bisa mengalahkan kita," kata seorang guru di Bura Shida Para di utara Maungdaw, Abu Tayeb mengatakan melalui telepon.
Peter Bouckaert dari Human Rights Watch mengatakan dia prihatin dengan kurangnya informasi tentang ratusan ribu yang tersisa di Rakhine. Menurutnya sangat penting pihak berwenang Myanmar memberikan akses kemanusiaan penuh ke Rakhine utara atau orang-orang akan mati.