REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Film Blade Runner 2049 telah tayang di bioskop Indonesia mulai 6 Oktober 2017. Sebelum menyaksikan film bergenre fiksi ilmiah ini, simak dulu ulasan dari Republika.co.id sebagai referensi menonton Anda.
Sekuel berkelas
Film Warner Bros Pictures arahan sutradara Denis Villeneuve ini patut dijuluki sebagai sekuel berkelas bagi film pendahulunya, Blade Runner yang rilis pada 1982. Laman ulasan Rotten Tomatoes memberinya skor 89 persen untuk visual ciamik dan narasi mengesankan.
Film neo-noir
Tim produksi menyebut Blade Runner 2049 sebagai film neo-noir. Istilah itu merujuk pada bentuk modern atau kontemporer dari film noir alias sinema bernuansa gelap, namun dengan pembaruan tema, konten, gaya, dan elemen visual yang melengkapinya.
Pesona para aktor
Setelah lebih dari tiga dekade, Harrison Ford kembali melanjutkan peran dengan mengesankan sebagai tokoh Rick Deckard. Lawan mainnya adalah aktor Ryan Gosling, memerankan manusia buatan alias replicant bernama K yang bertugas sebagai anggota Departemen Kepolisian Los Angeles (LAPD).
Totalitas peran
Selain Ford dan Gosling, nama-nama lain menunjukkan totalitas lewat peran masing-masing. Ada Ana de Armas yang amat meyakinkan sebagai istri virtual dari K, Sylvia Hoeks sebagai replicant berdarah dingin bernama Luv, juga Jared Leto sebagai pendiri perusahaan teknologi Wallace.
Paranoia kehidupan
Keseluruhan film bagaikan paranoia atau ketakutan berlebihan mengenai kehidupan di masa mendatang. Dunia yang sarat dominasi teknologi justru makin kacau, tidak bahagia, memupuk rasa keterasingan dan kepahitan warganya.
Kemiripan konten
Kisah manusia buatan yang memberontak juga dijumpai pada film lain, salah satunya sinema luar angkasa Alien: Covenant. Kemiripan konten tersebut mungkin disebabkan sentuhan sutradara sekuel film pertama, Ridley Scott, yang juga merupakan kreator seluruh seri film Alien.
Musik pengiring
Pada beberapa bagian, musik Blade Runner 2049 terkesan mirip dengan nuansa musik yang dihadirkan dalam Arrival, film sutradara Villeneuve sebelumnya. Kemiripan ini bisa dinilai sebagai kekurangan yang membosankan, atau justru menjadi ciri khas sang sutradara.