REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ibnu Rajab mengutarakan pengertian wara lebih sederhana dalam bentuk saran terhadap setiap Muslim. Ia mengemukakan sebuah hadis, "Tinggalkan hal yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu." (HR An Nasai dan Tirmidzi).
Untuk meninggalkan dosa tentu tidak mudah, sehingga kita membutuhkan kesungguhan niat. Para tabiin saja membutuhkan waktu selama 40 tahun dalam meninggalkan dosa. Hal ini disampaikan Ibnu Rajab sebagaima yang dikatakan sebagian tabiin, "Aku meninggalkan dosa selama 40 tahun lamanya. Akhirnya, aku mendapati sifat wara." (Fathul Bari, Ibnu Rajab, Asy Syamilah, 1: 51).
Sementara, Imam Nawawi menyampaikan suatu cara dalam menyikapi keragu-raguan dalam masalah hukum, baik halal ataukah haram. Imam Nawawi berkata, "Jika muncul keragu-raguan akan halal dan haramnya sesuatu, sedangkan tidak ada dalil tegas, tidak ada ijma, lalu yang punya kemampuan berijtihad, ia berijtihad dengan menggandengkan hukum pada dalil, lalu jadinya ada yang halal. Namun, jika ada yang masih tidak jelas hukumnya maka sikap wara adalah meninggalkan yang masih meragukan tersebut."
Penjelasan Imam Nawawi tersebut sangat menggambarkan sikap kehati-hatian dalam hukum Islam. Kehati-hatian merupakan tanda yang mendasar bagi orang-orang yang wara. Karena itu, setiap Muslim harus selalu berhati-hat dari sesuatu yang haram dan pernah berani untuk maju kepada sesuatu yang bisa membawa kepada yang haram.
Dengan demikian, jelaslah bahwa sikap wara adalah sikap meninggalkan semua yang meragukan dan menghilangkan semua keburukan dalam diri kita. Seseorang tidak dikatakan memiliki sikap wara sampai menjauhi perkara yang masih samar hukumnya lantaran takut terjerumus dalam keharaman.
Dalam kitab Shahih Bukhari dari Aisyah RA diriwayatkan bahwa Abu Bakar juga pernah memuntahkan makanan yang diberikan oleh pembantunya. Hal tersebut dilakukan setelah pembantunya memberitahu bahwa makanan tersebut berasal dari upah yang didapatkannya dari hasil meramal seseorang ketika jaman Jahiliyah.
Sikap wara seperti yang dilakukan Abu Bakar tersebut dapat menjadi contoh bagi kita dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, kita dapat memiliki hati yang bersih dan bertemu dengan Tuhan dalam keadaan yang bersih pula.