Dia terlalu muda untuk menyadarinya, tapi pada bulan November tahun lalu, kehidupan Trinity Hutahaean, gadis berusia empat tahun berubah selamanya. Trinity Hutahaean sedang bermain di luar sebuah gereja di kota Samarinda, Kalimantan Timur saat diserang oleh simpatisan kelompok IS.
Dia dilalap api ketika sebuah bom rakitan meledak dan menderita luka bakar hingga 60 persen di sekujur tubuhnya.
Seorang gadis berusia dua tahun, Intan Marbun terbunuh. Pelaku utama, Juhanda telah divonis karena melakukan tindak pidana terorisme sebelumnya, sekarang dijatuhi hukuman penjara seumur hidup pada bulan September lalu.
Dan dalam putusan yang bersejarah, hakim dalam kasus tersebut memerintahkan agar pemerintah Indonesia membayar ganti rugi sebesar 22 ribu dolar AS atau setara Rp 230 juta kepada total tujuh orang korban.
Dana tersebut tidak cukup untuk perawatan luka bakar ekstensif yang akan dibutuhkan Trinity. Tapi kompensasi ini dilihat sebagai keputusan progresif di sebuah negara di mana korban terorisme jarang mendapat dukungan finansial.
Memimpin tuntutan kompensasi korban
Tony Soemarno telah memperjuangkan kompensasi untuk korban terorisme di Indonesia karena ia terluka parah dalam pemboman hotel Marriott di Jakarta pada tahun 2003. Serangan tersebut menewaskan 12 orang dan melukai lebih dari 150 orang.
Cedera yang dialami Soemarno di bagian kepala dan luka bakar di tangan dan punggungnya sangat parah sehingga dia menghabiskan sembilan bulan di sebuah rumah sakit di Jakarta.
Rasa sakitnya begitu buruk sehingga ia mengaku pernah berusaha bunuh diri. "Saya tidak melakukannya, karena ibu saya mengatakan kepada saya, 'Siapa yang akan memberi makan anak-anak kamu, jika kamu mati?' Saya masih ingat kata-kata itu, sangat menyedihkan," katanya sambil menahan air mata saat dalam wawancara dengan ABC di sebuah kafe di Jakarta.
Dia mengatakan, korban serangan terorisme masa lalu telah berjuang untuk bertahan dan harus mendapat kompensasi dari Pemerintah Indonesia. "Prioritas terbesar adalah asuransi kesehatan. Jika kita mendapatkan asuransi kesehatan kita bisa bebas pergi ke rumah sakit, dan itu akan sangat membantu," katanya.
"Anda tahu kerusakan akibat luka bakar adalah yang terburuk dan beberapa di antara korban serangan ada yang kehilangan mata, beberapa di antaranya kehilangan dua kaki mereka."
Melanjutkan hidup dengan bekas luka dari masa lalu
Iwan Setiawan juga adalah korban ketika kedutaan besar Australia di Jakarta diserang pada tahun 2004. Serangan itu menewaskan sembilan orang dan melukai lebih dari 150 orang lainnya.
Dia sedang naik skuter yang melaju melewati kompleks kedutaan dengan istrinya yang sedang hamil. "Pada saat itu saya tidak melihat apa yang memukul saya tapi terasa panas dan menyakitkan, saya pikir saya akan mati," katanya.
Dia menyimpan sepotong pecahan bom yang mendarat di matanya di sebuah toples kecil di rumahnya di Depok, Jawa Barat. Sebuah pengingat bagaimana ia kehilangan mata kanannya.
Istrinya melahirkan seorang anak laki-laki namun meninggal dua tahun kemudian akibat komplikasi luka dari serangan tersebut. "Akhirnya, Tuhan lebih mencintainya dia dan dia dibawa menjadi malaikat di surga," katanya.
Iwan mengatakan pemerintah Australia telah membayar biaya asuransi kesehatan sejak serangan tersebut, namun dia belum pernah mendapatkan dukungan finansial dari pemerintah Indonesia.
Kasus Trinity Hutahaean, dan korban lain dari peristiwa pemboman gereja di Samarinda ini, membuka jalan bagi pengadilan untuk menggunakan undang-undang yang ada untuk memastikan pemerintah Indonesia memberikan kompensasi kepada korban terorisme.
Tapi perjuangan para korban serangan terorisme di masa lalu untuk mendapatkan kompensasi dari pemerintah masih terus berlanjut.
Mengusahakan kompensasi tanpa gugatan
Undang-undang anti-terorisme Indonesia tahun 2003 mencakup langkah-langkah kompensasi, namun peraturan teknis terkait yang dibutuhkan oleh jaksa di pengadilan tidak ada, yang berarti ketentuan itu belum pernah digunakan di masa lalu.
"Kasus pemboman gereja Samarinda adalah merupakah yang pertama kalinya di mana jaksa telah memasukkan kompensasi secara formal sesuai tuntutan putusan mereka," kata Supriyadi Widodo dari Institute for Criminal Justice.
Dia mengatakan dalam kasus tersebut jaksa meminta surat dari Jaksa Agung untuk memasukkan kompensasi dalam putusan pengadilan tersebut. Dia berpendapat undang-undang anti-terorisme yang lebih ketat yang telah terhenti prosesnya di DPR selama berbulan-bulan harus mencakup tindakan kompensasi bagi korban.
Sebuah ketentuan yang dipertimbangkan akan berarti korban serangan terorisme akan menerima kompensasi finansial terlepas dari proses pengadilan.
"Kami mencoba untuk mempromosikan gagasan kompensasi tanpa proses persidangan," katanya, mencatat bahwa hal tersebut dapat membuka jalan bagi korban serangan terorisme di masa lalu untuk mendapatkan bantuan keuangan.
Soemarno mengatakan bahwa dia akan terus berjuang untuk mendapatkan kompensasi bagi ratusan korban terorisme di seluruh Indonesia. "Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkannya? Saya tidak tahu," katanya.
"Tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali."
Simak artikelnya dalam Bahasa Inggris di sini.