REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Satu studi terbaru yang dirilis Yayasan Bertelsmann di Jerman mengungkap, kaum imigran Muslim di Eropa terintegrasi dengan baik ke dalam masyarakat arus utama di benua itu. Namun sayangnya, mereka tidak sepenuhnya diterima oleh semua penduduk asli di sana.
Dalam kertas laporan "The Religion Monitor 2017", Yayasan Bertelsmann melakukan survei terhadap pendidikan, kehidupan kerja, dan hubungan antaragama kaum Muslim di sejumlah negara, antara lain Jerman, Austria, Swiss, Prancis, dan Inggris. Negaranegara tersebut menjadi tempat tinggal bagi hampir 14 juta umat Islam.
Hasil survei tersebut menemukan bahwa generasi kedua dan ketiga imigran Muslim di Eropa memiliki tingkat penguasaan yang lebih baik terhadap bahasa nasional negara setempat. Mereka juga jauh lebih terdidik dan banyak terserap di dunia kerja, meski terus menghadapi diskriminasi dari sebagian masyarakat di negara tempat mereka bermukim.
Lebih dari 90 persen anak imigran Muslim di Prancis tumbuh dengan menggunakan bahasa Prancis sebagai bahasa utama mereka. Selanjutnya, ada sekira 80 persen keturunan imigran Muslim yang lahir di Inggris menggunakan bahasa Inggris sejak mereka masih kanak-kanak.Pada generasi kedua, semakin sedikit anak-anak imigran Muslim yang meninggalkan bangku sekolah sebelum usia 18 tahun. Hampir 67 persen Muslim di Eropa mampu menyelesaikan pendidikan mereka di jenjang SMA.
Jerman dan Swiss menjadi negara yang paling berhasil mengintegrasikan umat Islam ke dalam dunia kerja. "Di kedua negara ini, tingkat pekerjaan yang menguntungkan di kalangan umat Islam tidak jauh berbeda dengan penduduk mayoritas," tulis Yayasan Bertelsmann dalam laporannya, seperti dilansir World Bulletin, Agustus lalu.
Kendati demikian, laporan tersebut juga menggarisbawahi bahwa kaum Muslim di Eropa menerima penghasilan yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan warga dari kelompok agama lainnya. "Terutama di Jerman. Itu karena mereka (kaum Muslim) lebih sering dipekerjakan di posisi-posisi yang digaji dengan upah rendah."