Senin 09 Oct 2017 19:55 WIB

Diskusi tentang Keragaman Warnai Festival Ragam Nusantara

Diskusi pada puncak Festival Ragam Nusantara di Kota Tua, Ahad (9/10).
Diskusi pada puncak Festival Ragam Nusantara di Kota Tua, Ahad (9/10).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Penyelenggaraan Festival Ragam Nusantara di Kota Tua selain dimeriahkan pameran foto, bazaar, musik dan tari juga  telah terjadi berbagai pertukaran pengetahuan mengenai pentingnya merawat keragaman untuk menjaga persatuan.

Hari kedua festival, diadakan Rembug Pemuda untuk Politik Arif (Redapolar) II, sebuah forum diskusi pemuda lintas profesi dan organisasi yang bertujuan meredakan polarisasi politik. Peserta diskusi di antaranya, Lukas Simanjuntak (advokat), Maksum Syam (peneliti pedesaan), Yennie Heriachandra (penggiat upaboga), Wira Herdiansyah (koki), Kanti W. Janis (advokat/novelis), bersama Sunil Tolani (motivator/pengusaha) sebagai moderator. Sore itu masing-masing mengungkapkan keresahannya atas situasi belakangan yang mengancam keragaman.

Hari berikutnya, Savic Ali Direktur NU on-line dan Damar Juniarto SafeNet Indonesia secara bergantian memaparkan usaha-usaha merawat keragaman dengan media sosial.

Diskusi Sabtu (7/10) dilanjutkan dengan tema,”Pentingnya Merawat Keragaman Pengetahuan Lokal,” dengan Eko Cahyono Direktur Sajogyo Institut dan Nia Sjahrifudin Ketua Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika. Eko memaparkan konflik agraria banyak bersumber pada cara pandang korporasi yang menyederhanakan pergusuran dengan  kompensasi materiil. Padahal setiap masyarakat memiliki hubungan emosional, ikatan sejarah dan budaya dengan tanah yang didiaminya.

Hari Ahad (8/10), sebagai puncak Festival Ragam Nusantara di Kota Tua, diadakan diskusi bersama para tokoh seperti; Sarwono Kusumaatmadja, Bambang Harymurti, Herawati Supolo Sudoyo dan Saraswati Putri, dengan moderator Olga Lydia.

Herawati sebagai peneliti Lembaga Biologi Molekuler Ejikman mengangkat penelitian Geneka Tunggal Ika, berbeda gen tapi tetap satu. Ia memaparkan asal usul orang Indonesia yang beragam, juga menunjukan asal usul semua manusia modern berasal dari Afrika.

Sementara, Sarwono berefleksi saat ia tinggal di Yugoslavia, tanda-tanda perpecahan negara itu sudah mulai terasa saat anak-anak kecil mulai menjelekan kelompok lain.

Menurutnya, di Indonesia sudah terlihat gejala anak-anak mejelekan agama orang lain, itu adalah peringatan keras yang harus dicermati. "Tapi sebenarnya tidak ada  orang yang berseteru karena suku, ras, agama itu hanya simbol belaka, dari dulu yang membuat perseteruan sebenarnya  selalu 3 hal, yaitu air, makanan, dan energi," kata Sarwono seperti dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Senin (9/10).

Sarwono menambahkan, motif manusia bekerja sama atau bermusuhan ditentukan dari persepsi tentang metode bertahan hidup, maka jika Indonesia mau jaya harus memperkuat persepsi kesatuan dalam keragaman untuk ketahanan.

Kemudian Bambang Harymurti, mengatakan banyak konflik muncul karena gentrifikasi, di mana masyarakat pendatang dari kota masuk ke desa kemudian membeli semua lahan dan menerapkan gaya hidup perkotaan. Belajar dari Hawai, pemerintah melindungi kepemilikan tanah rakyat untuk melindungi keragaman.

Selanjutnya menurut Saraswati untuk menjaga keragaman, para penopang keragaman yaitu masyarakat adat harus dilindungi. Bagaimana keragaman Nusantara dapat terawat apabila persekusi terhadap masyarakat adat terus berlangsung.

Diskusi dibuka dengan dramatari Shima, Putut Budi Santosa, kemudian ditutup dengan penampilan musik dari Arini Kumara, Oppie Andaresta, dan Suara Anak Bumi, serta Cikini Tropical Sound.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement