REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi mengaku tengah memeriksa 81 wajib pajak yang terkait dengan transfer dana senilai 1,4 miliar dolar AS atau setara Rp 18,9 triliun dari Bank Standard Chartered (Stanchart) Guernsey, Inggris ke Singapura pada 2015 lalu. Ken mengaku, seluruh WNI yang terkait memiliki NPWP.
Oleh karena itu, ia akan mencocokkan laporan dari PPATK dengan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dan Surat Pelaporan Harta (SPH) dari program Amnesti Pajak.
"Jadi, tindaklanjutnyakita cocokkan dengan apakah sudah ikut Amnesti Pajak atau belum. Kalau tidak ikut apakah sudah dimasukkan ke SPT atau belum," ujar Ken.
Ken menjelaskan, apabila dana tersebut tidak dilaporkan dalam SPT maupun SPH, para pemilik dana tersebut akan dikenakan ketentuan peraturan dalam UU Pengampunan Pajak dan aturan turunannya yakni PP Nomor 36 Tahun 2017. Artinya, pemerintah dapat mengenakan pajak penghasilan final untuk harta yang dianggap sebagai tambahan penghasilan.
Tarif yang dikenakam sebesar 12,5 persen untuk wajib pajak tertentu, 25 persen wajib pajak badan, dan 30 persen bagi wajib pajak pribadi. Sesuai dengan pasal 18 UU Amnesti Pajak, nasabah akan dikenakan sanksi administrasi perpajakan sebesar 200 persen dari total pajak penghasilan atas harta tersebut.
"Jadi kita akan melihat apakah uang yang di sana itu sudah dipajaki atau belum.Kalau belum ya berarti kita lakukan tindakan sesuai ketentuan perundang-undangan," ujarnya.
Menurut Ken, 62 nasabah telah mengikuti program amnesti pajak. Ia mengatakan, penelitian dilakukan tidak hanya pada laporan saat amnesti pajak tapi juga pada laporan pajak sebelum dan sesudahnya.
Sampai saat ini, kata Ken, pihaknya belum bisa mendapatkan jumlah potensi pajaknya karena pemeriksaan belum rampung. "Masalahnya berdasarkan ketentuan UU kami tidak bisa menyebarluaskan proses ini. Tapi proses ini cepat. Kami targetkan akhir bulan ini selesai," kata Ken.