REPUBLIKA.CO.ID,NEW YORK -- Dana Moneter Internasional (IMF) sedikit menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global untuk kuartal akhir tahun ini. Meski optimistis, IMF memberi catatan beberapa risiko.
Proyeksi IMF ini meningkat 10 basis poin secara tahunan. Sekitar 75 persen ekonomi global mengalami akselerasi. Hal ini mengindikasikan pemulihan ekonomi yang lebih luas dalam satu dekade terakhir.
Revisi ke arah perbaikan untuk kawasan Eropa, Jepang, negara-negara berpendapatan menengah Asia, negara-negara berpendapatan menengah Eropa, dan Rusia. Namun IMF merevisi ke arah sebaliknya untuk AS dan Inggris.
IMF memprediksi pertumbuhan AS akan mencapai 2,2 persen di akhir 2017 ini dan 2,3 persen 2018. Sementara The Fed memprediksi pertumbuhan AS akan mencapai 2,4 persen di akhir 2017 dan turun menjadi 2,1 persen pada 2018.
Optimisme IMF itu juga disertai beberapa peringatan. IMF melihat perbaikan ekonomi global nampaknya tidak berkelanjutan. ''Pemerintah maupun pasar harus tidak seharunya merasa tenang setelah memasuki masa pemulihan,'' kata Kepala Ekonom IMF Maurice Obstfeld seperti dilansir Market Watch, Selasa (10/10).
Inflasi masih akan rendah di banyak negara maju dan pertumbuhan upah juga terbatas. Ini patut jadi perhatian sebab pemerintah di sana mungkin tak punya banyak cara mengatasinya. Sementara di negara-negara berpendapatan sedang dan berkembang, inflasi akan mencapai puncaknya.
Persoalan utamanya adalah kenaikan suku bunga The Fed dalam jangka panjang yang harusnya akomodatif hingga inflasi kembali pada target. Di saat yang sama, dicabutnya kebijakan keringanan moneter secara prematur bisa menghambat pertumbuhan sejumlah negara Eropa.
IMF juga mendorong Cina untuk mempercepat pertumbuhan kredit. Jika tidak, ada potensi pelambatan tajam ekonomi Cina yang juga akan berdampak pada negara lain.
IMF juga memperingkatkan kondisi tak terduga termasuk ketidakpastian kebijakan dan tekanan politik atau salah kebijakan bisa memperburuk kondisi finansial dan menurunkan harga aset. Perbaikan ekonomi global dilingkupi risiko serius. Pasar keuangan yang abai bisa mengirim sinyal yang salah kepada pembuat kebijakan.