REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia, Boyamin Saiman menyebut anggaran Rp 2,6 triliun untuk Densus Tipikor tidaklah mahal. Berapa pun angkanya tidak mahal jika untuk kepentingan pemberantasan korupsi jangka panjang.
"Sepanjang nanti disetujui DPR dan pemerintah itu tidak mahal. Ini kan untuk jangka panjang, menyelamatkan negara ini dari kebangkrutan. Kalau bangkrut kan bisa bubar. Nah, apa artinya duit Rp 3 triliun kalau negara bubar gegara digerogoti korupsi," tutur Buyamin saat dihubungi, Kamis (12/10).
Menurut Buyamin, keberadaan Densus Tipikor yang diajukan Kapolri Tito Karnavian, tidak akan tumpah tindih dengan kinerja KPK. Tumpang tindih hanyalah soal presepsi.
"Tapi kalau niatan baik sama-sama memberantas korupsi itu menjadi berlomba-lomba dalam kebaikan. Bagaimanapun berlomba-lomba kebaikan pasti baik," kata dia.
Kewajiban masyarakat, sambung dia, adalah mengawal dan mengontrol. "Nanti DPR kan akan menilai. Kalau jelek kan akan dikurangi, nanti tidak dianggarkan. Yang malu kan polisi sendiri kan," ucapnya.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi UGM, Hifdzil Alim mengatakan, idealnya semakin banyak lembaga pemberantasan korupsi akan semakin baik. Asalkan pembentukan lembaganya mengindahkan peraturan perundang-undangan.
Kedua, sambung Hifdzil, ada koordinasi antarlembaga dengan basis peraturan perundang-undangan. "Maksudnya begini, kalau Densus Polri tangani kasus, dan KPK menilai kasus itu seharusnya ditangani KPK (tentunya dengan pertimbangan yang presisi) maka Densus wajib menyerahkan kasusnya. Tidak boleh menolak. Karena undang-undang memberi ruang ke KPK untuk mengambil alih pemeriksaan kasus korupsi dari penegak hukum lain," terangnya.
Hifdzil juga melihat perlunya kompetisi penegak hukum dalam membongkar kasus korupsi. "Tidak boleh membentuk lembaga untuk melindungi korpsnya," ujarnya.