REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyatakan pembentukan Detasemen Khusus (Densus) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Polri mesti memegang teguh prinsip independensi. Jangan sampai, Densus itu justru diperalat oleh pihak-pihak pemilik kekuatan kapital yang besar.
"Yang sangat penting, soal independensi yang harus diteguhkan. Jangan sampai Densus menjadi alat kekuasaan atau pihak-pihak tertentu yang kuat dalam ekonominya. Sehingga Densus Tipikor dapat ikut menepis dan melawan "mitos" keuangan yang maha kuasa," tutur dia, Jumat (13/10).
Menurut Fickar, besarnya anggaran yang dibutuhkan untuk membentuk Densus Tipikor Polri, yakni lebih dari Rp 2,6 triliun, harus tetap bertumpu pada substansi kinerja dan kultur lembaga tersebut. Artinya, lanjut dia, jika ingin betul-betul ikut memberantas korupsi, maka mesti menggunakan sapu yang bersih.
"Densus yang akan dibentuk dengan struktur biaya yang cukup besar tersebut diharapkan tidak hanya bertumpu pada formalitas kelembagaannya saja, tapi juga substansi kinerja dan budaya. Jika ingin membersihkan harus menggunakan sapu yang bersih," ungkap dia.
Polri tengah menyusun pembentukan Datasemen Khusus (Densus) Tindak Pidana Korupsi. Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian mengatakan Densus ini akan memiliki sumber daya manusia yang besar dan jaringan luas sehingga dapat membantu KPK dalam upaya pemberantasan korupsi.
Tito meyakini keberadaan Densus tersebut tidak akan tumpang tindih dengan KPK. Polri akan tetap melaporkan kasus-kasus itu ke KPK. Densus ini akan bergerak secara masif dan tidak hanya fokus pada kasus-kasus besar. Misalnya, menangani persoalan sembako bersama dengan kementerian terkait untuk mengawasi gejolak harga pangan.