REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana pemerintah menaikkan tarif cukai rokok secara eksesif dinilai asosiasi akan berdampak domino. Ketua Paguyuban Mitra Produksi Sigaret-Kretek Indonesia (MPSI), Djoko Wahyudi, mengatakan efek domino yang ditimbulkan dirasakan industri rokok dan pendapatan negara.
"Kenaikkan tarif cukai rokok memaksa MPSI menaikkan harga jual rokok minimal lima persen dari harga saat ini," kata Djoko dalam keterangannya di Jakarta, Ahad (15/10).
Sejalan dengan Djoko, Ketua Umum AMTI Budidoyo berharap kebijakan cukai harus rasional, dengan mempertimbangkan kelangsungan bisnis industri hasil tembakau.
"Kami sangat menolak kenaikan cukai yang eksesif (target kenaikan tarif CHT sebesar 8,9 persen di 2018), mengingat industri tembakau merupakan industri padat karya yang melibatkan jutaan orang dari hulu hingga hilir disamping juga sebagai sumber utama penerimaan cukai negara," ujarnya.
Menurut Budidoyo, kenaikan cukai harus mempertimbangkan kemampuan industri di mana saat ini industri terus turun volumenya dalam empat tahun terakhir (terakhir 2016 mencapai 342 miliar batang, turun dari 348 miliar batang di tahun 2015).
Tercatat per Juli 2017 volume turun delapan miliar batang dibanding tahun 2016.Ia berharap Industri rokok tidak terus menerus dibebani dengan kenaikan cukai yang terlalu tinggi seperti yang terjadi pada 2016 yang mencapai 15 persen dan 10.5 persen pada 2017. Saat ini beban pajak sudah mencapai 60 persen harga rokok (termasuk pajak rokok dan PPN Hasil Tembakau).
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (FSP RTMM) Sudarto menegaskan, kenaikan tarif cukai yang eksesif dipastikan akan mempercepat kematian industri hasil tembakau. Karena kebijakan ini berpengaruh pada penghidupan ratusan ribu buruh pekerja di pabrik rokok dan pelaku ritel pasar.
"Kami meminta pemerintah, dalam menentukan tingkat cukai untuk mempertimbangkan masalah ketenagakerjaan, khususnya nasib buruh rokok," ujar Sudarto.
Menurut dia, wacana pemerintah menaikkan tarif cukai sebesar 8,9 persen akan semakin membebani produsen rokok. Karena secara otomatis akan terjadi penurunan produksi dan pasar, yang akan berimbas kepada kesejahteraan buruh.
"Jika kenaikan tarif cukai rokok terlalu tinggi seperti tahun ini, maka penjualan semakin sulit dan otomatis pabrik akan mengurangi jumlah pekerjanya," kata Sudarto menambahkan.