REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar ekonomi dari institute for development of economics and finance (Indef) Bhima Yudistira menilai turunnya nilai ekspor sebesar 4,51 persen secara bulanan pada September 2017 lalu mencerminkan berkurangnya kualitas neraca perdagangan. Karenanya, kendati perdagangan Indonesia mengalami surplus sebesar 1,76 miliar dolar AS, Bhima menilai surplus tersebut semu.
"Bisa dibilang mengalami surplus semu. Hal ini bukan faktor musiman, (tapi) karena penurunan ekspor bulan september dipengaruhi oleh anjloknya pertumbuhan ekspor minyak kelapa sawit," kata dia, saat dihubungi Republika, Selasa (17/10).
Pada September lalu, nilai ekspor minyak kelapa sawit anjlok sebesar -9,06 persen dibanding bulan sebelumnya. Sementara, jika membandingkan data tahunan (year on year), pada September 2016 ekspor minyak kelapa sawit naik 4,11 persen dibanding Agustus 2016.
Menurut Bhima, anjloknya ekspor kelapa sawit ini dipicu oleh adanya kebijakan baru di negara tujuan ekspor, terutama India dan Pakistan, yang menaikkan tarif bea masuk. "Kedua negara tersebut bersikap lebih protektif terhadap CPO asal Indonesia."
Sementara itu, Bhima melanjutkan, impor saat ini sedang mengalami fase normalisasi, khususnya pada impor bahan baku dan barang modal. Setelah naik signifikan di periode Juli lalu, impor kemudian turun pada periode September. BPS mencatat, impor migas turun sebesar 3,79 persen secara bulanan. Sementara, impor non migas turun sebesar 5,67 persen.
Kendati begitu, Bhima mengatakan, kinerja ekspor secara umum masih positif karena didorong oleh kenaikan harga komoditas mentah. Ia memprediksi, sampai akhir tahun 2017 neraca perdagangan Indonesia akan terus mengalami surplus.
"Optimis surplusnya kembali berkualitas. Asalkan kinerja ekspor lebih baik dari September," ujarnya.