REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dinas Kehutanan dan Pertamanan (Distankam) DKI Jakarta telah mengeluarkan aturan denda bagi siapa pun yang berani menebang pohon secara ilegal. Hingga Oktober 2017, total denda yang dikumpulkan dari para pelanggar berjumlah Rp 160 juta.
Kepala Bidang Pemberdayaan Masyarakat Distankam DKI Henri Perez menjelaskan, hingga kini, sudah ada 10 kasus yang disidangkan terkait penebangan pohon secara ilegal. Jumlah denda yang dihasilkan dari tiap-tiap kasus bervariasi.
"Ada 10 kasus yang kita sidangkan. Total dendanya juga beragam tiap kasus. Paling rendah, Rp 5 juta sampai paling tinggi Rp 35 juta," ucap Henri saat dihubungi Republika, Selasa (17/10).
Henri menuturkan, kasus penebangan pohon tidak hanya berlaku untuk korporasi atau instansi tertentu. Masyarakat secara pribadi yang melanggar aturan pun, sambung dia, juga bisa dijatuhi sanksi. Dia menuturkan, kisaran jumlah denda masing-masing kasus tidak ditentukan oleh Distankam DKI. Vonis denda yang diberikan tersebut sepenuhnya diserahkan kepada hakim yang memimpin persidangan.
Henri menegaskan, hakim yang bersifat independen akan memutuskan berat atau tidaknya jenis pelanggaran, bergantung bukti yang dikumpulkan. "Jumlah terbesar dari 10 kasus yang disidangkan itu ada yang sampai Rp 35 juta yang kena dari pribadi," ujar Henri.
Peraturan mengenai larangan menebang pohon tanpa izin ini diatur dalam Pasal 12 Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Kisaran denda yang tertuang dalam aturan itu berkisar mulai Rp 5 juta hingga Rp 50 juta.
Anggota Komisi D DPRD DKI Bestari Barus mengatakan, aturan pengenaan denda bagi pemotong pohon di wilayah Ibu Kota layak didukung. Meski begitu, ia mengaku, belum memahami terkait mekanisme besaran denda yang dikumpulkan Distankam DKI. Dia juga tidak mengetahui uang denda yang dikumpulkan itu akan digunakan untuk keperluan apa.
"Saya belum tahu ya untuk berita itu. Tapi, ya saya mendukung peraturan itu. Karena, dengan begitu kita bisa menjaga lahan hijau di Jakarta," ucap Bestari.
Politikus Partai Nasdem itu menyebutkan, pihaknya akan membahas peraturan itu di rapat kerja selanjutnya dengan kepala Distankam DKI. Bestari ingin agar peraturan tersebut lebih ditingkatkan pelaksanaannya di lapangan. Hal itu mengingat aturan itu membawa banyak manfaat menjaga RTH tidak berkurang dan kelestarian lingkungan di Jakarta tetap terjaga.
Menurut Bestari, saat ini Pemprov DKI sedang berfokus memperbanyak ruang terbuka hijau (RTH) di wilayah Jakarta. Sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 50/PRT/M/2008, setiap kota harus tersedia 30 persen lahannya untuk RTH yang terdiri atas 20 persen RTH publik dan 10 persen RTH privat atau pribadi.
RTH publik yang dimaksud bersinggungan dengan wilayah yang digunakan masyarakat umum, seperti taman kota, pemakaman, dan jalanan umum. Sementara, RTH privat dikelola oleh masing-masing warga yang memiliki rumah ataupun wilayah perkantoran.
Bestari menyatakan, RTH pribadi perlu pengawasan lebih intensif. Mengingat hal tersebut sering bertabrakan dengan kepemilikan secara pribadi atau institusi. Pasalnya, pemanfaatan RTH pribadi untuk kalangan terbatas, antara lain, berupa kebun, halaman rumah, atau gedung yang ditanami tumbuhan.
"Saat ini, DKI Jakarta harus memenuhi adanya ruang hijau sebanyak 6.000 hektare. Itu 30 persen dari luas wilayah DKI Jakarta. Sementara, untuk 20 persen RTH publik yang terpenuhi baru 9,5 persen. Masih ada sekitar 10 persen lagi yang harus dipenuhi," ucap Bestari.
Sementara itu, aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Dwi Sawung mendukung pemberian denda bagi siapa pun yang berani memotong pohon sembarangan. Dia menyarankan, kalau perlu aturan itu tak hanya diberlakukan di Jakarta, tetapi juga daerah lain.
"Aturan itu sudah bagus karena untuk menjaga kehijauan di perkotaan. Bahkan, untuk di halaman depan rumah sendiri juga tidak boleh sembarangan menebang. Harus ada izinnya," tutur Sawung.
Dia malah menganggap, denda yang diberikan kepada pelaku penebangan pohon masih terbilang kecil. Dia mencontohkan, pemberian denda Rp 10 juta yang dikeluarkan untuk jenis pohon yang sudah tua tidak sebanding dengan biaya perawatan dan penanganannya selama pohon tersebut tumbuh. Hal itu berdampak pada belum munculnya efek jera yang terasa dari berlakunya peraturan tersebut.
"Kalau perlu, ditambah denda atau sanksinya. Misal, kalau tebang pohon berapa, mereka ganti berapa. Sama seperti penebangan di wilayah hutan. Satu banding lima atau 10," lanjut Sawung. (Editor: Erik Purnama Putra).