REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Konferensi Internasional dan Multaqa Nasional IV Alumni Al-Azhar Mesir di Indonesia yang diselenggarakan selama tiga hari, mulai 17 Oktober 2017 sampai 19 Oktober 2017 di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) resmi ditutup Presiden Joko Widodo.
Gubernur NTB TGH Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB) yang juga didapuk sebagai Ketua Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar (OIAA) Cabang Indonesia mengatakan, para narasumber pada konferensi itu memaparkan 45 kertas kerja yang mendiskusikan berbagai isu keislaman. Para pembicara juga memberikan apresiasi kepada Al-Azhar dan Imam Besar Prof. Dr. Ahmed El-Tayeb, Syaikh Al-Azhar atas upaya-upaya yang telah dilakukan dalam menyebarkan moderasi Islam (wasathiyah).
TGB menyampaikan, sejumlah bahasan konferensi Internasional Alumni Al-Azhar antara lain, Wasathiyah dalam Islam adalah sikap seimbang dalam pemikiran dan perilaku yang ditandai antara lain dengan hidup harmonis dengan berbagai komponen masyarakat. Hal ini telah dicintohkan Rasulullah SAW untuk hidup berdampingan dengan rukun dan damai dalam masyarakat Madinah di bawah konsep al-muwathanah (kesamaan kedudukan sebagai penduduk dan warga negara).
"Setiap warga, baik Muslim, Yahudi, maupun Nasrani, memiliki hak dan kewajiban yang sama, seperti yang tercantum dalam Piagam Madinah," ujar TGB di Islamic Center NTB, Kamis (19/10).
Kemudian, agama Islam melalui Alquran dan Hadis telah secara sangat jelas menanamkan keimanan kepada semua ajaran dan kitab suci samawi ke dalam hati para pemeluknya. Islam juga menjamin kebebasan beragama kepada setiap warga yang tinggal di dalam satu wilayah dan satu negeri yang sama, sesuai firman Allah SWT: "Tidak ada paksaan dalam beragama. Islam menjamin rasa aman bagi setiap orang yang berada di wilayahnya, tanpa melihat latar belakang agama, etnik dan golongan yang dianutnya".
TGB melanjutkan, dalam pandangan Islam manusia berasal dari satu nenek moyang yang sama. Kesamaan itu meniscayakan perlunya saling mengenal yang pada gilirannya membuahkan kerja sama dalam melakukan kebajikan. Kesamaan itu juga meniscayakan perlunya memelihara kehormatan, darah, dan harta setiap manusia, apa pun agama yang dianutnya, selama tidak dalam kondisi peperangan.
Al-Azhar, kata TGB, telah mengemban misi wasathiyah Islam selama lebih dari seribu tahun, dan terbukti mendapat sambutan hangat di seluruh belahan bumi. Hal itu karena metode yang dikembangkan dan diajarkan dibangun di atas dua pilar utama yakni ilmu-ilmu tekstual berdasarkan Alquran dan hadis dan ilmu-ilmu kontekstual yang sejalan dengan akal pikiran manusia.
"Dengan demikian, para alumni Al-Azhar berkeyakinan bahwa wahyu tidak bertentangan dengan akal. Al-Azhar juga mengajarkan budaya menghormati keragaman, mengembangkan hidup harmoni dan menghormati pendapat serta prinsip-prinsip dalam hubungan antar umat beragama," lanjut TGB.
Beradasarkan itu, Konferensi Internasional dan Multaqa IV Alumni Al Azhar mengeluarkan tujuh rekomendasi yang disebut sebagai Deklarasi Lombok.
Berikut isi Deklarasi Lombok:
1. Perlunya memperluas jaringan alumni Al-Azhar dengan membuka cabang di seluruh belahan dunia, untuk secara bersama-sama dan bahu membahu memerangi pemikiran ekstrem dan radikal, antara lain pemikiran yang menghalalkan darah dan tindakan kriminal dengan mengatasnamakan agama.
2. Perlunya menyusun rencana dan langkah kongkrit terkait wacana keagamaan kontemporer yang melandasi kerukunan hidup umat manusia, menjauhi ujaran kebencian dan tindak kekerasan, menghormati sesama manusia, memelihara kehormatan jiwa, mencintai tanah air dan bela negara, serta mengukuhkan sikap moderat dan toleran.
3. Perlunya membuat perencanaan dan langkah-langkah kongkrit melalui pelatihan para dai dalam menghadapi fenomena ekstremisme, radikalisme dan fanatisme beragama, serta isu-isu terkait.
4. Perlunya menyebarluaskan secara massif respons ulama Al-Azhar terkait isu-isu yang mengancam kehidupan beragama yang moderat melalui jaringan alumni dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
5. Perlunya menyebarluaskan teologi Asyari dalam masalah akidah yang merupakan benteng pelindung Islam dari pemikiran dan ideologi ekstrem dan radikal. Teologi Asyari tidak membenarkan tindakan saling mengkafirkan sesama orang yang berkiblat ke Kakbah.
6. Perlunya sikap kehati-hatian dalam menerima fatwa keagamaan yang ada di media sosial. Fatwa kegamaan harus merujuk kepada sumber-sumber yang otoritatif dengan memperhatikan kondisi dan kebiasaan masyarakat setempat.
7. Perlunya membentuk komite khusus untuk menindaklanjuti keputusan dan rekomendasi yang dihasilkan.
Mataram, 19 Oktober 2017
Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar (OIAA) Cabang Indonesia
Ketua Umum
Dr. TGB. M. Zainul Majdi
Mustasyar
Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA