REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pihak berwenang di Cina Barat Laut dilaporkan meluncurkan aksi pembatasan keras terhadap pemimpin agama Muslim dengan melakukan pencucian otak terhadap para ulama. Mereka juga memenjarakan orang-orang yang menolak menerima peraturan baru yang ditetapkan oleh pejabat agama.
Cina telah bersumpah untuk melakukan tindakan keras terhadap ekstremisme agama dan meningkatkan langkah-langkah keamanannya. Dalam beberapa pekan terakhir, Alquran dan barang-barang keagamaan lainnya dilarang dan pekan lalu sebuah toko buku Muslim terkemuka di Beijing ditutup.
Senin (16/10), sumber anonim mengatakan kepada Radio Free Asia bahwa tindakan keras tersebut didasarkan pada pidato Sekretaris Partai Komunis, Chen Quanguo. Di Cina, politisi ini memulai beberapa kebijakan keras yang menargetkan kebebasan beragama bagi etnik Uyghur, termasuk melarang puasa selama bulan Ramadhan.
Berdasarkan Radio Free Asia, Chen Quanguo memerintahkan para pejabat untuk mengawasi tahanan dan pusat re-edukasi. Pemimpin agama yang ada dipenjara adalah mereka yang melanjutkan kegiatan keagamaan, termasuk melakukan khotbah setelah dipecat dari jabatan resminya.
Aktivis Hak asasi manusia AS, Sulaiman Gu mengkonfirmasi laporan tentang tindakan keras tersebut dengan mengatakan, "Ini adalah sebuah kebijakan nasional Cina untuk mendefinisikan kembali semua agama dengan standar komunis dan mencuci semua otak ulama," katanya seperti yang dilansir dari Daily Mail, Rabu (18/10).
Juru bicara kelompok Kongres Uyghur Dunia, Dilxat Raxit mengatakan kepada Radio Free Asia, "Pengetatan kontrol atas (pusat penahanan dan re-edukasi) ini merupakan tanda bagaimana orang-orang Uyghur semakin menjadi sasaran penganiayaan," katanya.
Ia menambahkan, para ulama dicuci otaknya agar melepaskan kepercayaan mereka. Ia juga mengatakan, pemerintah jelas khawatir tentang reaksi keras terhadap penahanan Uyghur dan kelompok etnis lainnya dengan hubungan luar negeri dalam beberapa bulan terakhir.