REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amnesty International Indonesia mendorong Pemerintah untuk membuka dokumen sejarah peristiwa 1965 guna menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.
"Kami mendorong terutama pada institusi negara, terutama pihak TNI yang banyak disebut dalam arsip yang baru dideklasifikasi, agar membuka juga arsip miliknya untuk melengkapi wacana yang sedang diperbincangkan secara internasional," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid di Jakarta, Jumat (20/10).
Usman Hamid mengatakan publikasi dokumen dari Badan Keamanan Nasional milik Amerika Serikat (NSA) terkait peristiwa tahun 1965 bisa menjadi satu momentum baru bagi Pemerintah Indonesia dalam membuka kembali bukti dan informasi terkait peristiwa tahun 1965.
Menurutnya, pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla sebenarnya telah memiliki iktikad baik untuk mengupayakan rekonsiliasi antara pihak-pihak terkait peristiwa 1965. Namun, upaya tersebut tidak sampai pada pengungkapan dokumen sejarah secara resmi oleh pemerintah.
"Usaha paling terakhir dari Pemerintah adalah simposium pada April tahun lalu. Oleh karena itu, kami ingin kerja sama untuk memperoleh dokumen itu sebagai arsip resmi untuk bahan pembelajaran," tambahnya.
Pernyataan sikap tersebut disampaikan Amnesty International Indonesia menyusul adanya publikasi dokumen dari Badan Keamanan Nasional milik Amerika Serikat (NSA) terkait peristiwa tahun 1965.
Dokumen yang sudah bersifat "tidak rahasia" itu diunggah di laman khusus NSA dari The George Washington University, http://nsarchive.gwu.edu/briefing-book/indonesia/2017-10-15/indonesia-mass-murder-1965-us-embassy-files, yang berisi pesan-pesan telegram dari Kantor Kedutaan AS di Jakarta pada saat itu.
Di laman tersebut, terdapat unggahan sebanyak 39 dokumen telegram yang menunjukkan pesan dari para diplomat AS di Jakarta. Pesan tersebut mencatat bahwa pemimpin kelompok PKI telah dieksekusi disertai dukungan dari pejabat Amerika Serikat terhadap upaya pasukan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) untuk menghancurkan gerakan buruh yang tersisa di Indonesia pada saat itu.
Sebanyak 30.000 halaman arsip yang diunggah NSA tersebut merupakan catatan harian para diplomat AS di Jakarta sejak tahun 1964 - 1968, yang telah diklasifikasikan guna menanggapi permintaan pegiat HAM di AS dan Indonesia akan peristiwa 1965.