Sabtu 21 Oct 2017 22:51 WIB

Tak Ada Tempat Aman Bagi Perempuan Rohingya

 Ribuan pengungsi muslim Rohingya yang mealrikan diri dari Myanmar, tertahan di perbatasan di Palong Khali, Bangladesh, Selasa (17/10).
Foto: AP/Dar Yasin
Ribuan pengungsi muslim Rohingya yang mealrikan diri dari Myanmar, tertahan di perbatasan di Palong Khali, Bangladesh, Selasa (17/10).

REPUBLIKA.CO.ID, COX'S BAZAR -- Perkosaan digunakan sebagai senjata dalam krisis Rohingya. Tak seorang perempuan pun aman dari risiko serangan seksual sementara kaum Muslim Myanmar terusir dari kampung mereka.

Para dokter PBB, yang merawat beberapa ratus ribu Muslim Rohingya yang telah menyelamatkan diri ke Bangladesh dari Myanmar selama beberapa pekan belakangan ini, telah menyaksikan puluhan perempuan dengan cidera yang sesuai dengan serangan kekerasan seksual. "Mereka tak aman," kata mereka.

Dan semua perempuan yang diwawancara oleh wartawan Thomson Reuters Foundation, yang dipantau Antara di Jakarta, Sabtu siang, bercerita mengenai perkosaan dengan kekerasan oleh pasukan keamanan Myanmar saat mereka meninggalkan rumah mereka, bagian dari pengungsian besar-besaran kaum Rohingya.

"Militer Burma (Myanmar) dengan jelas telah menggunakan perkosaan sebagai salah satu dari sejumlah metode mengerikan pembersihan etnik terhadap kaum Rohingya," kata Skye Wheeler, ahli kekerasan seksual di Human Rights Watch yang telah menilai kamp yang terisi dengan cepat.

Perkosaan dan bentuk lain kekerasan seksual telah tersebar dan sistematis serta brutal, merendahkan martabat dan menimbulkan trauma.

Maynmar membantah semua tuduhan mengenai pembersihan etnik itu, dan mengatakan negara tersebut "harus menanggulangi aksi perlawanan", yang dituduhnya memulai pertempuran dan menyerang warga sipil, serta pasukan keamanan.

Namun warga desa yang menyelamatkan diri dari kekerasan mengatakan perkosaan adalah senjata rutin dalam persenjataan militer, dan PBB sekarang membuat penilaian apakah kekerasan itu berubah menjadi pemusnahan suku bangsa.

Perkosaan berkelompok

Apa pun definisi hukumnya, Nurshida --yang berusia 18 tahun-- hanya mengetahui dengan sangat baik apa yang terjadi pada dirinya. Ketika berbicara dengan wartawan Thomson Reuters Foundation dari kampnya yang relatif aman, Nurshida mengenang bagaimana kelasnya yang terdiri atas 30 siswa berbaris tanpa suara memasuki sekolah mereka pada September.

Mereka berbaris di bawah todongan senjata oleh tentara berseragam, lalu digiring ke auditorium utama. Semua siswi tersebut, kata Nurshida, ketakutan dan berkumpul di satu sudut, sementara kaum pria itu memperkosa mereka.

Nurshida, yang memiliki kulit cerah, mengatakan ia dipilih pertama oleh kelompok enam tentara yang membawa senjata api dan parang. Nurshida dan teman-temannya mengalami perlakuan kasar dan tak manusiawi.

Pemerintah Bangladesh mengatakan cerita Nurshida cocok dengan pola serupa yang mengerikan. "Cerita yang kami dengan merujuk kepada perkosaan yang digunakan secara strategis sebagai senjata perang," kata Rashed Hasan, seorang letnan kolonel di Angkatan Darat Bangladesh.

Perempuan dari segala usia dan latar-belakang telah melaporkan serangan seksual brutal serupa --serta menyaksikan pembunuhan anggota keluarga, kehilangan anak dan dipaksa meninggalkan rumah mereka.

"Perkosaan adalah perbuatan kekuatan. Perbuatan itu tak mengenal diskriminasi dalam hal usia, seks atau suku," kata Saba Zariv dari Dana Penduduk PBB kepada wartawan Thomson Reuters Foundation.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement