REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengaku Indonesia tengah mendorong transparansi kepemilikan usaha di sektor pertambangan. Indonesia merupakan negara pendukung standar global bagi transparansi penerimaan negara dari sektor ekstraktif atau yang dikenal dengan EITI.
"Indonesia tengah mendorong sistem data yang lebih baik, antara lain basis data beneficial ownership, data sumber daya alam, pembenahan data keuangan dengan data perpajakan, lalu juga ada kebijakan satu data dan satu peta. Pemerintah menyadari data yang baik merupakan beberapa prasyarat untuk mempercepat penggunaan pendekatan evidence based policy dalam pengambilan kebijakan dan prioritas pembangunan," ujar Bambang dalam Global Conference on Beneficial Ownership Transparency di Jakarta, Senin (23/10).
Bambang mengaku, upaya tersebut penting karena di banyak negara terutama negara berkembang banyak ketidakjelasan dalam kepemilikan industri tambang. Hal ini pun menimbulkan kerugian bagi negara yang memiliki tambang dan berpotensi menimbulkan korupsi.
Konferensi yang digelar EITI pada 23 hingga 24 Oktober 2017 itu mendorong beberapa negara khususnya pemilik sumber daya alam seperti Indonesia untuk menerapkan transparansi tersebut. Bambang mengaku, salah satu poin yang banyak dibahas adalah menghapuskan nondisclosure agreement.
"Artinya segala sesuatu harus terbuka. Kalau ada perusahaan berinvestasi di bidang pertambangan harus jelas siapa pemiliknya, perusahaan mana yang jadi pemilik berikut juga nama pemiliknya. Jadi semua harus transparan dan jelas," kata Bambang.
Bambang mengaku, dari segi perpajakan, hal itu mencegah kerugian baik bagi negara asal investor maupun negara yang menjadi lokasi tambang.
Indonesia memulai dukungan transparansi tersebut pada 2007 dan dilanjutkan dengan penerbitan Peraturan Presiden mengenai Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah pada 2010. Sebagai negara anggota EITI, Indonesia telah mempublikasikan peta jalan transparansi pada 2017. Pada 2020, Indonesia harus dapat mempublikasikan nama, domisili, dan kewarganegaraan orang atau sekelompok orang yang mengontrol perusahaan-perusahaan industri ekstraktif dalam laporan EITI.
"Sudah ada dokumennya tinggal kita mengimplementasikannya secara penuh," kata Bambang.