Senin 23 Oct 2017 15:58 WIB

Slow Food Ingatkan Kembali Kemasan Ramah Lingkungan

Makanan dibungkus daun pisang yang lebih ramah lingkungan.
Foto: Antara
Makanan dibungkus daun pisang yang lebih ramah lingkungan.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Kelompok pegiat pangan lokal "Slow Food" Yogyakarta bersama "Tumbuh High School" menggelar program bersama dalam mengenalkan kekayaan ragam pangan Indonesia berbasis pemahaman edukasi praktis dan kemasan makanan ramah lingkungan.

"Kegiatan dalam rangka memperingati hari pangan sedunia ini berlangsung pada 23 dan 28 Oktober 2017 di 'Tumbuh High School' di Panggunghardjo, Sewon, Kabupaten Bantul, Yogyakarta," kata salah satu pegiat "Slow Food" Yogyakarta Amaliah, Senin.

Menurut dia, pada kegiatan pertama Senin 23 Oktober anak didik THS diberi pengenalan pada aneka wadah dan pengemas ramah lingkungan yang mudah di dapat di sekitar alam Nusantara antara lain daun pisang dan daun kelapa. "Ada takir, cekentong, samir, tepong sampai aneka pembungkus makanan seperti ragam bungkus ketupat dari janur (daun kelapa), selonsong lontong dan lainnya," katanya.

Ia mengatakan, kegiatan ini mengajarkan anak generasi muda Indonesia untuk paham bahwa nenek moyang telah mewariskan kemasan dan wadah ramah lingkungan yang sekarang menjadi trending di dunia global dalam mengurangi dampak polusi yang berakibat terbesar gaungnya adalah Perubahan Iklim (Climate Change). "Sedangkan pada kegiatan kedua yang berlangsung Sabtu 28 Oktober ada banyak kegiatan yang melibatkan anak didik, orang tua bahkan semua lini yaitu bazar, lomba fashion show, melukis kipas dan lomba memasak dengan tema pangan lokal," katanya.

Amaliah mengatakan, kenapa pangan lokal menjadi tema besar pada kegiatan ini karena saat ini pemanfaatkan sumber daya alam yang terlalu ekplosif menyebabkan terjadi kelebihan produksi dan pemborosan bahan makanan secara umum di muka bumi ini. "Sepertiga makanan terbuang percuma tidak terkonsumsi, sementara jutaan orang di sisi lain dari bumi ini kelaparan (800 juta orang). Hanya sektor pertanian ramah lingkungan yang bergantung pada keragaman dan yang menghasilkan makanan yang disesuaikan dengan lingkungan setempat atau pangan lokal dapat melindungi nutrisi dari populasi global yang terus berkembang menuju prakiraan 12 miliar orang pada 2050," katanya.

Ia mengatakan, "Slow Food" selaku gerakan akar rumput global memiliki impian sebuah dunia di mana semua orang dapat mengakses dan menikmati makanan yang baik untuk mereka, baik bagi mereka yang menumbuhkannya dan baik untuk planet ini. "Slow Food melibatkan lebih dari 160 negara dari seluruh dunia bergandengan tangan  sebagai aktivis, koki, pakar, pemuda, petani, nelayan dan akademisi, Slow Food merupakan suatu gerakan yang memandang bahwa semua terkait dengan pangan dari hulu ke hilir merupakan proses yang harus berprinsip pada Fair, Good, and Clean," katanya.

Prinsip ini, kata dia, untuk mewujudkan makanan yang berkualitas dan berkelanjutan (sustainable quality food) yang harus didapatkan pada setiap orang. "Sejak Oktober 2017, Slow Food, dengan 'Menu For Change' menunjukkan solusi konkret untuk konsumsi sehari-hari yang lebih berkelanjutan. Untuk tujuan ini, Hari Pangan Sedunia akan menandai dimulainya tahap partisipasi awal dengan kampanye, 'Eat Local Challenge'. Gerakan ini diharapkan memotivasi orang-orang untuk makan selama tiga minggu secara eksklusif, makanan lokal yang ada pada saat ini yang dibuat produsen skala kecil, dan untuk berbagi resep dan pengalaman mereka," katanya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement